Awan beriring tanda hujan takkan berpaling. Genggaman tangan ku pada gas motor ku tarik sedikit ke bawah. Pikiran berlari lebih laju dari motorku yang memang terbatas mesinnya. Dua bulan lalu motor ini bermalam di bengkel langgannan untuk dibongkar mesinnya. Setelahnya, teknisinya berpesan agar aku tak menarik dalam gasnya.
Singkat, padat dan pasti setetes demi setetes air berjatuhan membayang di kaca helm ku. Tak bisa lagi kuhiraukan, nekat ku tarik gas motorku melaju membelah udara yang perlahan semakin dingin.
Matahari pun turut berpacu di antara aku dan hujan. Dia berpacu tuk tenggelam kembali keperaduannya. Sinarnya yang layu tampak seperti lelahku di sore ini selepas melayani konsultasi murid ku.
Pertigaan gang jalur pergi kerja ku kini tampak di ujung pandangan ku. Aku merelakan kecepatan ku berkurang sebab berjaga agar tak mengagetkan pengendara yang keluar dari gang kecil di kanan jalur ku.Â
Wush
sekelibat motor di belakang ku seperti membawa pasukan angin mendahului ku. Ketika itu aku terhuyung ke pinggir badan jalan dan terhenti sepersekian detik lalu melanjutkan perjalanku. Tergambar amarahku lewat bagian dalam kaca helm ku. Namun, segera amarah itu padam ketika beberapa masukan yang tadi kuberikan pada murid ku menyambar bak petir di kepala ku.
"Emosi adalah bentuk respon dan kamu bisa memilih respon yang kamu inginkan.
Kamulah yang memilih respon mu dan bukannya respon yang memilih mu."
Segera tarikan panjang nafasku mengisi ruang sempit helm ku dan membuat kacanya buram terhembus nafas panjang ku. Gas motorku pun secara otomatis mengikuti rima nafasku yang perlahan memanjangkan durasinya. Aku pun melanjutkan perjalanan ku kembali.
Pada muara jalan kampung itu tertambat sejumlah kendaraan yang hendak melanjutkan perjalanan di jalan arteri utama. Perlahan ku sisir setiap kendaraan yang mengantree bak ingin lepas dari perangkap. Semua kendaraan tertutup buliran air hujan yang tadi jugaÂ
menyerangku. Niat pikiran ingin menggunakan jas hujan. Namun, hati kecil berbisik usil.