Mohon tunggu...
Tiki Taka
Tiki Taka Mohon Tunggu... -

The World I Understand...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kenapa Banyak Kecelakaan di Jalan Raya?

28 Oktober 2011   00:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:25 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dari foto tunggal (tanpa rekayasa/candid) bisa kita dapat beberapa hal: 1. Tidak memakai helm pengaman. Jelas di sini si pengendara tidak mementingkan sama sekali keselamatan dirinya dengan tidak memakai helm. Helm merupakan benteng pertahanan terakhir jika terjadi kecelakaan yang mana sedikit banyak bisa mengurangi resiko cedera fatal di bagian kepala. 2. No mirror? No Problem. Dari gambar terlihat bahwa kendaraan yang dipakai juga melanggar standar kelaikan kendaraan (roadworthiness). Kaca spion berfungsi untuk mengetahui posisi kendaraan lain yang ada di belakang. Dengan tidak adanya kaca spion, maka resiko kecelakaan ketika berpindah lajur dan berbelok akan sangat tinggi. 3. Mengirim/membaca SMS ketika berkendara? Ini adalah fenomena baru. Dengan semakin murah dan merakyatnya telepon genggam, maka sedikit banyak akan merubah kebiasaan berkendara. Hal ini sangat berbahaya. Pengendara yang konsentrasi penuh saja bisa terlibat kecelakaan, apalagi yang sering terdistraksi seperti membaca/mengirim sms/BBM. 4. Pengendara di bawah umur. Hampir pasti pengendara yang tertangkap kamera di atas tidak punya SIM, karena dilihat dari seragam sekolah yang dikenakan adalah usia setingkat SMP. SIM pada hakekatnya bukan hanya merupakan surat jaminan bahwa sang pemilik SIM sudah bisa menguasai kendaraan yang dikemudikan, tetapi juga merupakan jaminan si pengendara MENGERTI/PAHAM rambu2 dan aturan main di jalan. SIM juga mengindikasikan seseorang secara psikologis sudah dalam rentang usia matang dalam mengendalikan emosi di jalan. Dari foto tunggal di atas, si pengendara bisa dikenakan pasal berlapis (minimal 4 pasal di atas). Belum lagi kalau memperhitungkan faktor cara berkendara yang ofensiv seperti ngebut, zigzag, melanggar lampu merah, memotong dari dalam ketika berbelok, dsb. Sebagai catatan, foto di atas tersebut diambil bukan pada jalan internal (seperti jalan lingkungan kompleks) tetapi jalan raya utama yang ramai dan yang banyak angkutan antar kotanya. Kalau sudah begini, rasanya tidak aneh jika banyak sekali kecelakaan yang terjadi setiap hari di negara kita tercinta ini. Orang tua seharusnya lebih berpikir panjang menyerahkan kendaraan kepada anaknya yang secara ilegal boleh membawa kendaraan. Mungkin orang tua kurang ngeh dan merasa kendaraan bermotor sama saja dengan sepeda. Semoga saya salah. Dengan semakin murah dan mudahnya orang membeli motor di masa kini, mungkin ada saja sebagian pola pikir orang tua menganggap motor adalah hanya sepeda yang diberi mesin (cuma beda dikit). Dulu orangtuanya memberikan sepeda sebagai hadiah naik kelas. Jaman kini motorlah pengganti sepeda. Ini salah besar. Motor bebek dengan rata2 kekuatan 10 tenaga kuda bisa memiliki kecepatan di atas 80km/jam tanpa terasa. Ini sama saja memberi "mesin pembunuh" kepada anaknya. Kalau kita sering mengkritisi bolehnya warga sipil di USA memiliki senpi, maka kita juga harusnya mengkritisi orang tua yang ceroboh memberikan akses kendaraan kepada anaknya secara ilegal, bahkan mungkin harus lebih keras (saya yakin orang yang terbunuh akibat kekerasan senpi di USA tidak sebanyak angka kecelakaan di Indonesia akbibat kelalaian dan kecerobohan berlalu lintas). Jeleknya, sang anak akan cenderung menduplikasi "tradisi pembiaran" ini kepada keturunannya kelak karena merasa proses ini sebagai hal yang lumrah dan merasa sebagai cerminan kasih sayang. Rantai kesalahan ini yang harus diputus. Mulailah dengan mengkampanyekan di lingkungan terkecil; keluarga. Kalau bisa, ikut berpartisipasi di kelompok2/asosiasi2 seperti IMI dsb mengkampanyekan keamanan berkendara. Jangan terlalu banyak berharap dari pemerintah dan birokrat. Mereka terlalu pesolek dan tidak ada yang mau kena giliran cuci piring. Satuan2 informal masyarakat/group sepertinya lebih efektiv. NB: lihat tulisan saya yang lain mengenai bingungnya mencari informasi berkendara yang benar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun