Sempurna. Hanya satu kata itu yang sukses merefleksikan sosok seorang Ratu pada pandangan pertama. Badannya langsing dan tinggi semampai. Rambut lurus hingga siku tak mampu menutupi kulit cerahnya. Banyak mengira ia seorang Tionghoa. Tapi Ratu adalah orang Jawa, benar-benar Jawa dengan segala keramahannya. Bukan sekali dua kali ia memperoleh tawaran menggiurkan jadi model di ibukota. Namun ia selalu menolaknya.
Ratu adalah kakak kelasku waktu SD dulu. Setelah 10 tahun lebih berpisah, akhirnya kami bertemu lagi di kampus. Ya, sekali lagi kami mengenyam pendidikan di almamater yang sama. Tak banyak yang berubah dari Ratu. Dia masih sempurna, masih jadi dambaan sejuta pria. Ah tidak. Ratu tak sepenuhnya sama. Ratu kini sudah tahu gemerlap dunia malam dan sempat menjajal fantasi narkoba.
Layaknya kearifan lokal seorang junior, ku sempatkan menyambangi kos Ratu. Kamarnya bersih, rapi, dan sangat artistik. Nampaknya seni tak sekedar jadi bidang studinya di kampus. Seni juga yang menghiasi kamar kos Ratu. Hanya saja selera Ratu agak berbeda.
Kasurnya terbungkus sprei hitam. Di atas lemarinya botol-botol minuman keras eksklusif berjajar rapi. Temboknya dihiasi guntingan foto-foto kelam: biarawati bersenapan, pisau berlumur darah hitam, hingga raga pria-pria tak berdaya. Ada pula satu sketsa yang membuatku tak bisa memendam tanda tanya. Sketsa itu sedikit vulgar namun kelam. Seorang wanita berambut panjang terurai menindih seorang pria. Keduanya bertelanjang dada. Namun wanita tersebut tampak hendak menikam sang pria dengan belati di tangan kanan.
Ternyata Ratu memang berbeda. Ia seorang mistress. Dominan. Baginya, kekerasan adalah bukti cinta. Menampar, mencambuk, bahkan memainkan mata silet dipermukaan kulit merupakan ekspresi cintaya. Seperti ketika SD dulu, Ratu kemudian memamerkan mainannya. Ratu sudah tidak bermain boneka. Ia kini gemar bermain dengan borgol, selotip, rantai, tali, dan berbagai macam penyumbat mulut (gag).
"Kalau pisau, belati, cambuk, anjingku yang aku suruh bawa. Enak aja dia ikut main tapi nggak modal mainan?!" kisah Ratu. Anjing yang dimaksudnya bukan benar-benar hewan peliharaan berkaki empat itu. Anjing adalah sebutan Ratu untuk lawan main alias kekasihnya.
Setiap libur panjang, Ratu dan 'anjing'-nya menyewa sebuah penginapan di Bali. Mereka memilih pondok tanpa tetangga, jauh dari kehidupan manusia lain. Di sana mereka merasa bebas meluapkan rasa cinta yang tak lazim itu. Ratu bebas berkuasa. Kendali ada di tangannya.
Yang menyenangkan bagi Ratu adalah ketika ia menyumpal mulut sang kekasih dan memaksanya merangkak keliling rumah seperti anjing. Tak jarang ia menunggangi pria tersebut seraya mencambuk, seperti kusir mencambuk kudanya. "Who's the boss?!" adalah kalimat andalannya.
Permainan lain kesukaan Ratu adalah mengikat masing-masing tangan pria pada dua tiang berbeda. Kemudian dengan penuh semangat Ratu akan mencambuki tubuh pria tanpa ampun. Ketika cintanya sedang membara, Ratu bahkan tak peduli darah bercucuran dari kulit kekasihnya.
"Tenang aja, dia selalu sedia antiseptic wipes sama P3K sendiri koq," Ratu membaca mimik kengerianku mendengar kisahnya. Sebetulnya tak ada yang dirugikan antara keduanya. Sang pria, meski dicambuk, disilet, disiksa habis-habisan, ia tak akan protes. Pria tersebut malah bahagia. Bahkan tak sedikit yang menceraikan istrinya karena sang istri tak tega menyiksa.
Hubungan semacam ini memang tak lazim di Indonesia. Kalau ketahuan, bisa diseret ke meja hijau atas nama pelanggaran hak asasi manusia. Itulah mengapa Ratu enggan berpacaran dengan pribumi. Melalui sebuah sosial media khusus, ia mencari 'anjing' untuk jadi kekasihnya. Australia, Amerika, Singapura, adalah warga negara kekasih yang ia 'koleksi'.