Hari Minggu kemarin relawan Turun Tangan ambil bagian jadi saksi serunya final Debat Bernegara Capres Konvensi Demokrat. Sayang, nggak semua relawan bisa masuk hall. Pihak Hotel Grand Sahid menyediakan TV layar datar di sekitar hall, tapi nggak ada suaranya. Lha nonton debat nggak ada suarane lak dhagelan pantomim, liat mamam doank. Akhirnya kami streaming di HP. Lagi, suara jadi tantangan. Suaranya kalah dengan keriuhan pendukung 11 kandidat.
Masalah? Hadapi!
Bayu, relawan Turun Tangan yang ahli urusan amplifier ruangan punya inisiatif cerdas. Dimasukkannya HP ke kardus. Suara dari HP menggema di udara dalam kardus, jadi lebih kenceng. Tapi masalah belum selesai. Kuping 4 orang nggak bisa masuk ke satu kardus donk. Memanfaatkan gulungan kertas, suara di kardus itu ditangkap. Beneran jadi jelas banget!
Ketika menghadapi masalah begini, kami punya banyak pilihan :
1. Memaksa masuk ke dalam hall
2. Protes ke pihak hotel karena fasilitas nggak lengkap,
3. Keluar hotel kipas2 atau kongkow2 pepesan kosong,
Tapi yang kami pilih:
4. Ambil alih masalah, HADAPI dan selesaikan!
Relawan 0 Rupiah
Relawan Turun Tangan nggak pernah habis suaranya untuk berteriak lantang, "Kami relawan, bukan bayaran!". Tapi masih ada saja yang mengira kami dibayar dengan iming-iming goodie bag, atau nilai bagus. Beberapa kali kami disapa dengan pertanyaan, "Mahasiswa Paramadina ya?" Aku sih seneng aja dikira mahasiswa. Berarti awet muda, masih pantes menyandang gelar mahasiswa. :-P
Menyambung cerita gagal masuk hall tadi, kami duduk ngesot di pelataran hotel bersama pendukung 10 kandidat capres lain dan kader partai. Di area tersebut hampir semua capres bagi-bagi goodie-bag. Isinya merchandise seperti kaos, pin, dan beberapa buku biografi kandidat terkait.
Ada satu kandidat capres yang (menurut kami) ganteng dan keren, tapi bukan Mas Anies Baswedan. Sebut saja namanya Pak Ganteng, jelas bukan nama sebenarnya. Kandidat tersebut merekrut mbak-mbak cantik ala SPG otomotif untuk membagikan goodie bag. Dari tasnya yang gembung, kayaknya isi tas itu lebih banyak dari kandidat lain. Kayaknya sih.
Alkisah, kami duduk ngesot alias "turun lantai"Â di pelataran lantai dua dengan ibu-ibu berseragam partai dan mengenakan pin capres ganteng tersebut. Awalnya kami pikir beliau pendukung Pak Ganteng, sehingga kami menahan diri tidak berkomentar banyak tentang Pak Ganteng.
Marsha, salah satu relawan menyapa salah satu ibu, "Ibu pendukungnya Pak Ganteng ya?"