“Semua orang juga kalau ditanya maunya hidup kayak gini. Bebas, nggak ada masalah, lepas dari rutinitas. Tapi bukankah hidup butuh keseimbangan? Butuh tanggung jawab? Kalau nggak, kita akan tenggelam di satu sisi.” –Madre, Short Story from Dewi ‘Dee’ Lestari-
Kita pernah merasa begitu jenuh akan sesuatu. Terhadap titik nyaman sehari-hari yang menjebak diri pada kerangka yang tidak ketahui kemana arahnya. Kita pernah berdiam pada masa di mana kita terkungkung pada substansi yang serba tidak keruan. Menjangkiti impuls syaraf pada dimensi yang menerobos batas hierarki kesadaran, menelantarkan amplifikasi yang mengaikatan diri pada sistem pemikiran banyak orang. Seketika demam turbulensi tidak terbantahkan, kita bersengketa pada arus penghantar ketidakstabilan, pemicu disorder tingkat tinggi yang merangsang pergerakan di setiap skala. Menarik kita ke arah tertentu kemudian melepasnya secara tiba-tiba, hingga kita terjatuh pada sebuah titik bifurkasi.
Sebuah titik percabangan dalam interval regular. Rangkaian instabilitas yang memberikan kita kebebasan untuk memilih beberapa keadaan yang mungkin. Titik bifurkasi yang menunjukkan kepekaan luar biasa terhadap fluktuasi kecil yang terjadi di lingkungannya. Sebelum semuanya merusak sistem pada kondisi chaos, sebagian dari kita mengejawantahkan idealisme personal dengan berusaha menjangkau sebuah titik kosong. Pengingkaran terhadap segala bentuk kekuatan persepsi di luar sana yang tengah mendistorsi rangkaian pemikiran. Ia adalah pseudo kehidupan, tentang devaluasi semua tatanan nilai yang ingin dinetralisasi.
Mungkin, kita hanya perlu hati-hati untuk berdiam pada titik nyaman tertentu. Sebuah titik yang membuat kita cenderung menikmati sesuatu terlampau besar hingga berpotensi untuk tenggelam pada satu sisi. Rutinitas pekerjaan sehari-hari, interaksi dengan rangkaian pemikiran kepala-kepala penuh ide dan strategi adalah genangan mimpi yang ingin dijangkiti sejak dulu. Pencapaian karir, pengembangan potensi diri dengan serangkaian ilmu pengetahuan menjadi dogma yang merasuki nadir para pengejar mimpi seperti saya. Hingga akhirnya, saya menemukan apa yang mereka anggap sebagai sumber ketidakwarasan pertama dari fase kehidupan. Saya memilih untuk menyingkir sejenak, menanggalkan rutinitas yang menderu dalam sebuah demam turbulensi. Berdiripada sebuah titik bifurkasi dan memilih satu dari dua percabangan demi rangkaian keseimbangan.
Ada pencarian yang belum selesai dan membuat kita perlu menepi sejenak, mengembalikan diri pada titik kekosongan, tempat dimana semua hal menjadibegitu netral. Setelah semua ini selesai, mungkin kita perlu kembali pada hal-hal yang sebelumnya pernah kita tanggalkan, agar tidak terlalu lama berdiam diri pada satu bagian… Agar tidak tenggelam di satu sisi.
Selamat Pagi Semesta, Selamat menjaring tatanan simbol dan pseudo kehidupan yang bertebaran di atas samudera penciptaan dunia.
Tika Sylvia Utami
www.tikasylviautami.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H