Mohon tunggu...
Tika Sinaga
Tika Sinaga Mohon Tunggu... Pengacara - A dedicated Worker

Corporate Lawyer at MAPLAW I Board of Trustee of The Lantern of Land and Nation Foundation I Worker I Blogger I Passions in Coffee, Violin I Anti Smoking Activist I

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Trend Bully Pilpres Pasca Penarikan Diri Prabowo

24 Juli 2014   15:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:22 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14062018731758828363

Saya terkejut membaca berita kemarin yang datang dari Kubu Prabowo-Hatta, tepatnya disampaikan oleh Tantowi Yahya. Berita itu adalah permintaan Tantowi kepada pendukung Jokowi untuk tidak membully Prabowo setelah pidato Prabowo yang mengeluarkan pernyataan “Menarik diri dari Proses Pilpres yang sedang berlangsung”. Saya terkejut karena kok kubu Prabowo seolah baru sadar ada perang bully di soc-med? Dan kok baru sekarang memohon untuk tidak di-bully? Tantowi Yahya mengikuti dunia persilatan bully tidak sih? Dia tahu tidak bagaimana hebatnya Jokowi menerima bully selama proses Pilpres?

Permintaan yang sangat aneh dan menunjukkan pemintanya kurang riset karena perang soc-med bully sebenarnya sudah terjadi sejak beberapa bulan terakhir.

Puncak perang soc-med bully terjadi pasca pidato penarikan diri Prabowo dari Pilpres. Wajar saja jika pasca penarikan dirinya dari proses pemilihan presiden muncul banyak bully dan ejekan. Apa yang dilakukan oleh Prabowo ketika dia memutuskan “Menarik diri dari Proses Pilpres yang sedang berlangsung” (saya pakai kalimat pada pidatonya), adalah suatu hal yang amat luar biasa istimewa bukan saja untuk kehidupan politik Indonesia dan politik dunia tetapi juga untuk kehidupan manusia. Dari sudut manapun, sikap Prabowo itu akan menjadi catatan sejarah yang akan dibicarakan oleh banyak penceramah motivasi, dijadikan contoh nasihat para orang tua kepada anak-anaknya mengenai kesiapan mental menghadapi kekalahan apapun dalam hidup dan tentu saja akan menjadi study kasus di Fakultas Hukum dan iImu Sosial Politik dan akan divisualisasikan dalam jutaan karikatur dalam 100 tahun ke depan. Jadi kelihatannya kubu Prabowo harus belajar menerima dan memaklumi hal ini.

Saya tidak pernah tertawa untuk visualisasi atau kalimat-kalimat yang vulgar dan melewati batas dan etika, tapi harus diakui banyak sekali visualisasi yang membuat kita tersenyum. Misalnya visualisasi grafis anak SD yang sedang menulis pelajaran sejarah di tahun 2114, terlihat seorang anak kecil menulis: “100 tahun yang lalu ada seorang Capres yang tidak mengakui kekalahannya….”. Lalu ada visualisasi grafis yang menunjukkan Prabowo lari keluar dari ring tinju saat wasit hendak mengumumkan pemenang pertandingan, dan banyak lagi.

Selama proses pilpres, tidak dapat disangkal lagi bahwa kedua pendukung Capres Prabowo-Hata dan Jokowi-JK melakukan perang sosial-media baik lewat kata-kata maupun design grafis. Banyak orang yang berusaha untuk menjaga kalimat-kalimat kampanye yang ia tulis, tetapi tidak sedikit yang tidak memperlihatkan kaidah-kaidah sopan santun dan etika. Dan keadaan itu tidak mengenal gender, kelas sosial atau lulusan dari mana seseorang. Seorang perempuan lulusan Universitas ternama memvisualisasikan Jokowi dengan Monyet atau Kodok, dan tidak pernah menyebut nama Jokowi melainkan dengan ejekan-ejekan seperti: “si krempeng”, “si gembel”, “si Monyet” sambil menambahkan berkali-kali: “ih jijik nyebut namanya aja gak sanggup”. Kalau kita mengingatkannya kita pasti di-delete dari FBnya. Ada pula fans Prabowo, lagi-lagi seoang perempuan sosialita yang menyebut-nyebut nama Tuhan sambil mengutuk-ngutuk dan menyindir-nyindir Capres No.2 sambil berkata “ular di kepalanya menyembur sejuta taktik licik untuk menjatuhkan seseorang blab bla bla bla.....”.

Sejak tanggal 22 Juli,  banyak sekali seruan-seruan di antara relawan dan pendukung Jokowi untuk tidak melakukan bully pada Prabowo. Tapi kelihatannya sulit sekali di saat seperti ini untuk membedakan mana “bully” dan mana meng-counter pernyataan-pernyataan keliru dan fitnah. Fitnah-fitnah baru masih bermunculan pasca pengumuman itu, seperti masalah 32 rekening Jokowi di Luar Negeri yang menampilkan bukti-bukti yang tidak terlalu canggih, lalu ada pernyataan seorang jendral mengenai hacker yang memasuki sistem KPU, juga ada video you tube mengenai data kemenangan Prabowo yang disimpan TNI/POLRI. Hebatnya Video ini muncul di TL para pendukung prabowo meskipun dibuat oleh mantan Narapidana kasus pembajakan Woyla 1981. Ampun deh!

Presiden Indonesia ke-7, Jokowi akan dikenang sebagai Presiden yang paling banyak menerima bully pada masa Pilpres. Kita akan ceritakan kepada anak cucu kita bagaimana penukung prabowo mengejeknya secara fisik dan memfitnahnya dengan rekayasa-rekayasa konyol yang menyangkut ras, agama dan asal-usulnya.

Cyberwar tidak dapat disangkal lagi memegang peranan penting dalam pemilihan Capres kali ini. Bikin “eneg” banyak orang tapi juga bisa bikin kita tergelak-gelak. Kita berharap itu semua akan berkurang seiring dengan berjalannya waktu. Tak guna menghimbau kubu yang satu untuk tidak membully sebaiknya semua pihak saling menghimbau para pendukungnya masing-masing untuk stop Bullying baik lewat kalimat-kalimat yang melecehkan ataupun memfitnah maupun visualisasi grafis.

[caption id="attachment_349543" align="alignnone" width="750" caption="Visualisai Pelajaran Sejarah 2114"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun