yang namanya kesal menjalar, membawa sesak dan tangis di ujung cerita. Ketika amarah tak dapat lagi di sampaikan, pada akhirnya melukai diri sendiri terkadang adalah cara terbaik menjadi peralihan luka sementara. Hanya berkisar beberapa hari dan minggu, hingga semua luka itu akan berakhir dengan sendirinya. Membawa bekas yang sekiranya mengingatkan pada hal yang benar-benar pedih, membuat batin remuk dirasa, perlahan mematikan rasa dan asa.
Semua yang terlihat hanyalah hitam dan putih. Biru bahkan sudah hilang dari peradaban, bukan hilang untuk selamanya. Ia hilang karena perlu yang namanya dicari dan digali, jika kita bangkit semesta akan mengingatkan bahwasannya semua bukan tentang hitam dan putih. Melainkan ada biru yang terdiam, menunggu ia memainkan perannya, jika usaha dan rapalan doa kita sudah memadai baru saat yang akan dinantikan tiba.
Sorak sorai, tangis dan hentakan menggema dalam syahdu. Seringkali menghantui benak, kacau. Jika ingatan yang sudah di kubur perlahan kembali datang, membawa tangis yang magis pada petang menuju malam. Hanya butuh pelukan yang menenangkan, karena kami semua takut akan ribuan pernyataan dan pertanyaan dalam benak. Entah itu tentang sebuah masa depan, dan tak jauh bergelut dengan rasa.
Takut yang akan terjadi kembali menyakiti raga yang sudah benar-benar pulih. Karena bangkit tak semudah yang dikira, ada banyak hal yang perlu diterjang. Ingatan yang membawa dirinya dengan sukarela, membuat kita terdiam akan banyak hal yang seharusnya tak terjadi dihari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H