Saya termasuk orang yang sering melintas jalan raya Ragunan - Pejaten. Sekiranya pada pukul sembilan adalah waktu yang tepat untuk melintas jalanan itu. Padat dan macet sudah pasti. Tidak ada harapan bagi pengendara untuk bebas dari kemacetan ketika melalui jalur itu.
Di sisi lain, suasana yang kerap menyiksa batin saya adalah ketika menyaksikan para seniman jalanan beraksi tatkala lampu merah memberhentikan seluruh pengendara. Tanpa terkecuali para penjajal jualan yang ikut memanfaatkan situasi tersebut.
Sambil lalu ada Indonesia Tanah Pusaka Yang Berlalu Begitu Saja
Senandung Indonesia Tanah Pusaka mulai terdengar di simpang empat Pejaten. Seorang seniman jalanan yang memainkan bialonya penuh harapan yang kalau saja seluruh pengandar yang sedang berhenti di simpang empat itu, rela mengeluarkan beberapa koin dari sakunya. Tidak perlu banyak, asalkan ada.
Tapi siapa yang akan menyangka jika tidak ada sama sekali koin yang dengan sukarelanya dikeluarkan dari saku celana dan jaket para pengendar.
Siapa yang akan menyangka selepas Indonesia Tanah Pusaka didengungkan orang-orang lebih memilih membesarkan volume radio di dalam mobilnya.
Tidak ada juga yang menjamin selepas Indonesia Tanah Pusaka orang-orang lebih memilih memerhatikan pada detik ke berapa lampu merah itu akan segera berakhir.
Sepintas para pengendar terlihat seperti sekumpulan zombi. Tidak bergidik sama sekali selain hanya deru mesin kenderaan yang dibiyarkan tetap hidup. Jika demikian seperti itu Indonesia Tanah Pusaka akan berlalu tanpa suara koin yang berdenting di kantongan plastik yang terselip di leher biola.
Indonesia Tanah Pusaka hanya akan berlalu begitu saja seiring dengan pergantian warna lampu --- dari merah menuju hijau.
Pejaten di hari ini benar-benar tidak melukiskan apa-apa selain utopia para seniman jalanan dan pencecer jualan kerupuk dan kanebo. Di simpang empat pejaten hanya ada harapan-harapan yang membias menyatu dengan suara bising kenderaan.Â
Selamat beraktivitas.