Oleh Tika Dian Pratiwi
Suara ringkikan tiga ekor kuda, menyambut kedatangan saya ditempat penyimpanan benda bersejarah ini. Dengan asyiknya mengunyah rumput, ketiga kuda tersebut seakan tidak perduli dengan orang-orang yang berlalu lalang dihadapannya. Bahkan jepretan dari kamera para pengunjungpun, tidak membuat mereka kehilangan nafsu makan. Menjadi objek dalam foto pengunjung mungkin bukanlah hal yang baru bagi ketiga kuda tersebut.
Begitu melangkahkan kaki didepan pintu bangunan yang berada di sebelah kandang kuda, saya disambut dengan pertanyaan dari beberapa orang penjaga. “Berapa orang yang masuk mbak? Tiga ribu ya satu orangnya. Kalau bawa kamera dan mau foto-foto, bayarnya jadi sepuluh ribu perorang.”
Sembari mengeluarkan dompet untuk mengeluarkan tiga lembar seribuan. Samar-samar terdengar, “yang ini namanya kareta Kyai Jolodoro, kereta ini buatan Belanda tahun 1815. Peninggalan Sri Sultan Hameng Kubuwono IV. Kareta Jolodoro adalah kareta pesiar. Kareta yang satu ini dikendalikan oleh empat ekor kuda”.
Begitulah kira-kira kalimat yang akan anda dengar, jika anda berkunjung ke museum Kareta Karaton Ngayogyakarta. Sebelum melangkahkan kaki kedalam tempat yang berisi benda-benda bersejarah ini, pengunjung diharuskan membayar tiket masuk. Jangan heran, jika anda juga akan menjumpai pria-pria bersuara bass, yang memimpin segerombolan pengunjung. Layaknya seorang guru, mereka menjelaskan dengan detail ke-23 kereta yang ada di museum ini. Seperti itulah kewajiban yang harus mereka lakukan sebagai pemandu.
Museum yang berisi peninggalan raja berwujud kereta ini, pada awalnya bukanlah tempat wisata. Pada tahun1985, barulah pihak Keraton membuka museum ini untuk umum. Dengan kerja sama yang baik dari kedelapan abdi dalem pengurus museum ini, deretan kareta tersebut tampak bersih dan berdiri gagah dengan ribuan cerita sejarah didalamnya.
Namun, ketika berjalan ke bagian kanan deretan kareta, nampak satu kareta yang terlihat usang. Catnya mengelupas dibeberapa bagian, kontras dengan kareta-kareta lainnya yang masih dalam keadaan prima.
“Kareta ini dulu dipajang disebelah kanan hotel Ambarukmo, berhubung disana tidak ada yang ngurusi, pihak keraton memutuskan untuk mengambil kereta tersebut dan ditaruh disini. Direnovasinya bertahap, karena museum ini tidak masuk dalam anggaran negara” Begitulah penuturan Bapak Suhardi, selaku bagian keamanan dan ketertiban museum Kareta Karaton Ngayogyakarta mengenai si tampan Landower Ambarukmo.
Rasa lega mulai menjalar ditubuh saya, ketika mendengar bahwa kareta Landower Ambarukmo akan mengalami renovasi. Aset bersejarah milik Yogyakarta ini, akan pulih seperti sedia kala meskipun dalam waktu yang bertahap.
Museum kareta yang bisa dinikmati mulai jam setengah 9 pagi, hingga jam 4 sore ini, selain dihuni oleh Landower Ambarukmo buatan Belanda tahun 1901, juga dihuni oleh Kareta Kyai Jongwiyat buatan Den Haag, Belanda tahun 1880. Kareta ini biasa digunakan dalam peperangan, untuk memeriksa barisan prajurit. Kareta Roto Biru adalah buatan tahun 1901 yang ditarik oleh 4 ekor kuda dan digunakan oleh panglima dalam peperangan. Ada juga Kareta Kapulitin yang berbeda dengan kereta-kereta lainnya karena hanya ditarik 1 ekor kuda. Kareta Kyai Rejo Pawoko diperuntukkan untuk transportasi bagi adik-adik Sultan. Sedangkan kareta Premili ditarik 4 ekor kuda yang biasanya digunakan untuk menjemput penari-penari keraton, dan masih banyak kareta yang lainnya.
Dari 23 kareta di museum ini, ada satu kareta yang menarik perhatian saya dan beberapa pengunjung lainnya. Kareta itu adalah Kareta Garudo Yeksa atau Kareta Kencana (emas), karena kareta ini dilapisi emas 18 karat. Kareta yang dipergunakan untuk penobatan Sultan ini adalah asli buatan Belanda tahun 1861 pada masa Sri Sultan Hameng Kubuwono VI. Dengan ukurannya yang besar, kareta ini harus ditarik oleh 8 ekor kuda berwarna hitam.
Kareta ini merupakan primadona di museum ini. Tidak heran, keberadaannya pun dipisahkan dengan kareta-kareta yang lainnya. Sembari tetap mendengarkan penjelasan dari pemandu, mata ini menyapu keseluruh sudut ruangan, 23 kareta tampan tersebut berdiri dengan gagah nan prima, seakan-akan memamerkan tingginya nilai sejarah yang mereka miliki dihadapan semua pengunjung museum.
Pukul 1 siang kala itu, ketika matahari tepat berada diatas ubun-ubun, wisata sejarah saya berakhir. Dalam perjalanan pulang, terbersit perasaan bangga, karena bisa berkunjung ke tempat bersejarah ini. Tempat dimana Sri Sultan Hameng Kubuwono menyimpan kendaraan-kendaraan supernya. Sungguh perjalanan wisata yang sederhana, namun sangat menarik.
Bersama Bapak Suhardi, selaku bagian keamanan dan ketertiban museum Kareta Karaton Ngayogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H