Mohon tunggu...
tika dian pratiwi
tika dian pratiwi Mohon Tunggu... -

Timika, Magelang, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggendong Asa dengan Sebuah Jarit Keikhlasan

26 Februari 2014   23:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:26 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Tika Dian Pratiwi

Teriknya Yogyakarta siang itu, tidak meghilangkan garis kebahagiaan dari bibir perempuan ini. Bersama dengan teman-temannya, ia duduk sejenak melepas lelah sembari bercerita dan bercanda. Beban berat yang ada digendongannya selama 37 tahun ini, tidak menurunkan semangat hidupnya. Dengan baju lusuh berwarna merah jambu yang menempel ditubuh, wanita ini ikhlas dan bahagia menjalani pekerjaannya, seperti Yogyakarta yang selalu ikhlas menerima sinar terik matahari.

Bu Painten, begitulah wanita bersuara lembut ini biasa disapa selama 55 tahun hidupnya. Setiap jam 6 pagi dari rumahnya yang berada di Sentolo Kulonprogo, ia berangkat dengan menggunakan bis kota menuju pasar Beringharjo. Bermodalkan keranjang besar dan jarit (kain gendong), setiap hari ia mencari kepingan rupiah dengan menjadi buruh panggul pasar Beringharjo, Yogyakarta.

Dua jempol dirasa tidak cukup untuk mengakui kehebatan Bu Painten. Semenjak suaminya tidak bekerja karena sakit, Bu Paintenlah yang berjuang keras untuk mengepulkan asap dapurnya. Ia tidak pernah mengeluh karena setiap hari harus membagi waktu antara bekerja sebagai buruh panggul dan merawat suaminya dirumah. Ia pun tidak pernah mengeluh ketika harus menempuh perjalanan jauh dari Kulonprogo ke pasar Beringharjo. Itu terlihat jelas dari raut wajah dan nada cerianya kala menceritakan perjalanan hidupnya kepadaku.

Setiap hari, Bu Painten membantu menggendong dan mengangkat belanjaan para pengunjung pasar. Ia tidak pernah memasang tarif tetap untuk beratnya beban belanjaan dan jauhnya jarak yang harus ia tempuh. Memasang tarif akan membuatnya kehilangan pelanggan, karena tidak sedikit pelanggan yang terkadang keberatan jika harus mengeluarkan uang diatas 10 ribu rupiah. “Nek ditarifi njuk besok langganan nggak ngongkon lagi, jadi kulo mboten wani nentok’ke harga. Nrimo sak anane mawon mbak (kalau ditentukan tarifnya, besok pelanggan nggak nyuruh lagi, jadi saya tidak berani menentukan harga. Terima apa adanya saja mbak)”, kalimat itu meluncur deras diiringi tawa ringan beliau. Sama sekali tidak terlihat ekspresi lelah dari wajahnya.

Bu Painten pun ikhlas, jika tenanganya hanya diupahi 3 ribu, 5 ribu, 7 ribu hingga yang tertinggi 10 ribu rupiah. Kalaupun ia berhasil mengantongi uang diatas 10 ribu untuk sekali kerja, pastilah itu dari pelanggan dermawan yang tidak sampai hati melihatnya berjalan bungkuk, menaiki dan menuruni ratusan anak tangga dengan gendongan yang luar biasa berat.

20 ribu adalah rata-rata pendapatan Bu Painten dalam satu hari. Bagi sebagian besar orang berada, mungkin bukanlah nominal yang besar, namun dikantong Bu Painten, 20 ribu sangat berarti untuk satu hari hidupnya. Dengan pendapatan dalam satu hari, ia bisa membeli beras, sayur, dan berbagai keperluan hidupnya bersama sang suami. Maklum, ibu dari tiga anak ini hanya tinggal berdua dengan suaminya. “Berduasama suami saya dirumah, anak saya tiga, dua orang mpun (sudah) berumah tangga, yang satunya belum, tapi mpun kerjo mbak, dadine yo manggon dewe-dewe (jadinya tinggal sendiri-sendiri)”.

Menjalani hidup dengan tidak membebani anak-anak, adalah pilihan bijak yang disandang Bu Painten. Ia optimis, dengan pendapatannya sebagai buruh panggul, ia mampu membiayai kebutuhan hidupnya bersama suami. Anak-anaknya hanya membantu membiayai keperluan berobat sang suami, yang memang membutuhkan biaya besar.

Tidak banyak orang yang bersedia untuk mengajarkan semangat hidup dan keikhlasan. Namun, dari melihat hidup Bu Painten, tidak perlu mengeluarkan kata dan kalimat. Pembelajaran akan keikhlasan dan semangat hidup sudah terlihat jelas.

Pukul 1 siang kala itu, menjadi akhir dari pertemuan singkat kami bersama Bu Painten. Ada banyak ucapan terima kasih sebagai salam perpisahan kami. Pasar Beringharjo, si cantik bercat hijau yang menyimpan semangat para buruh panggul, mengunjunginya, menjadikan hari ini semakin berarti.

Bagor (keranjang besar) dan jarit (kain gendong) memang layak sebagai properti utama untuk menggendong asa. Asa milik Ibu Painten, menjadi pembelajaran sederhana akan semangat hidup dan keikhlasan.

Bersama Ibu Painten

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun