Selamat malam,
Jadi beberapa hari kemarin suasana dirgahayu kemerdekaan RI ke 69 masih terasa dan hampir setiap tempat merayakannya dengan berbagai kegiatan. Ada yang cukup mendekorasi kampung, ada pula yang mengadakan berbagai lomba.
Dalam melaksanakan berbagai kemeriahan itu biasanya dibentuk kepanitiaan kecil di tiap penyelenggaraan. Dan di sini menurut saya kita bisa melihat bagaimana tingkat kerukunan yang terjadi di dalam komunitas.
Tidak semua orang antusias dalam merayakan HUT RI di sini. Tampak jelas hanya "lingkaran" yang dekat atau "akur" dengan pengurus RT saja yang antusias. Sisanya acuh tak acuh, tidak "ngetok" (memperlihatkan diri-kebiasaan di kami setiap ada acara, sebagian orang cukup memperlihatkan diri untuk mengkonfirmasi keterlibatan), mencibir atau pura-pura tidak tahu.
Sudah sekitar dua tahun ini kepengurusan RT dipegang oleh orang-orang yang sama sekali tidak "sekumpulan" dengan orang-orang pengurus RT sebelumnya. Ketua RT yang sekarang ini adalah seorang pendatang dan seorang PNS. Orangnya cukup pendiam dan tidak terlalu aktif di masyarakat sebelumnya.
Orang-orang di sekitarnya ini beberapa orang yang punya karakter "nyengkelet" menurut beberapa orang. Dan budaya toleransi di masyarakat jawa telah lama membiarkan orang-orang seperti ini bertindak sesukanya tanpa ada "hukuman" sosial minimal.
Kembali ke perihal lomba 17 an. Dia dengan lantang dalam setiap rapat mengusulkan hal-hal dengan dengan detail yang sering menguntungkan pihaknya sendiri. Misal membuat lomba membuat nasi goreng untuk anak-anak karena dia tahu anaknya pintar memasak dan percaya akan menang.
Ternyata dalam keseharian orang-orang seperti ini pun tampak menulari tetangga-tetangga terdekatnya. Istrinya dengan istri pak depan rumah tidak akur dan tidak bertegur sapa apalagi bicara.
Entah dimasuki unsur apa di kampung kami sejak itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H