Sebuah siang, saat ngopi di kedai kopi Simpang 4, ada pertanyaan liar alias tak fokus diarahkan kepada siapa pun di antara beberapa yang duduk ngopi dan ngobrol.
"Apanya arti makzul?" Sebuah tanya sederhana dan sepertinya terkesan pertanyaan yang retoris. Tak ada yang mencoba memberikan jawaban. Ditengarai yang bertanya sudah tahu maknanya. Hanya saja dia seperti sedang bermaksud mengafirmasi apa yang dia baca atau dengar.
Ya, kata ini belakangan trendik dalam kosa kata setiap orang yang sedang berbicara, di banyak tempat di kota Siantar, di kedai kopi, di pedagang kaki lima, warung tuak, kedai nasi, pangkalan becak, kafe, restoran, sampai ke tempat tidur menjelang aksi politik biologis. Senggama jilat dan perut.
Kata makzul selidik punya telisik, merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Jika dibuka di Kamus Besar Bahasa Indoenesia artinya melatakkan jabatan atau diberhentikan dari jabatan, atau dipecat dari jabatan.
Kata ini belakangan trendik di Siantar setelah dilambungkan teman-teman pergerakan dari etnis Simalungun. Mereka melakukan aksi unjuk rasa menentang ketelodoran Pemko Siantar melalui panitia hari jadi membuat poster atau flyer tentang Festival Kota Pusaka.
Flyer itu mengusik ruang publik, lantaran beredar di medsos menampilkan sejumlah etnis memperagakan pakaian dan adat budaya mereka. Tapi dari suku Simalungun sebagai suku pewaris kota ini, tak ada ditampilkan. Malah dibuat rumah adat suku Simalungun mirip dengan yang terbakar di Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun.
Kekagetan warga etnis Simalungun pun kian membesar menjadi kegeraman, karena pihak pantia yang dikomandoi Kadis Pariwisata Fatimah Siregar seperti tak merasa bersalah meski belakangan mengoreksi dan memperbaiki poster itu. Fatimah bahkan terakhir sudah minta maaf.
Tapi tampaknya, ketersinggungan warga etnis Simalungun sudah kian membesar menjadi kemarahan. Api kecil pun berubah jadi kobar, konon menengok reaksi Pemko Siantar atas ketersinggungan dan kemarahan itu datar-datar saja.
Jadi lah unjuk rasa digelar. Isi besarnya pun berpusar pada kata makzul, memakzulkan walikota yang mereka tuduh menista suku Simalungun, dengan latar ragam persoalan sebelumnya. Mulai dari soal poster Festival Kota Pusaka yang belakangan mendadak raib programnya, minimnya apresiasi adat dan budaya Simalungun dalam kegiatan walikota, sedikitnya pejabat dari warga suku Simalungun yang duduk di institusi pemerintahan dan BUMD, sampai tak terwujudnya pembangunan tugu Sang Naualuh Damanik sejauh ini.
Kata ini dilesakkan dan didesakkan ke mulut wakil rakyat, DPRD Siantar. Aksi pertama dan kedua sudah digelar pada April 2018. Judul besar tak bergeser, memakzulkan Hefriansyah sebagai penista suku Simalungun. DPRD melalui kewenangan politik dan hukum yang ada padanya sesuai UU No 23 tahun 2014 tentang Pemda yang memang memiliki instrumen memakzulkan walikota atau kepala daerah.
Lebih jauh, kata pemakzulan itu kian menggelinding bak bola