1)Joko Widodo menjadi Presiden
Jokowi diakui sebagai pemimpin visioner yang cak-cek kerja kata orang Jawa. Punya program bagus untuk negara di masa depan. Mungkin di awal periode pertamanya, agak gugup dalam menghadapi masalah politik, hukum dan ekonomi. Maklum lah, agak gaduh di awal kuasa, SBY toh juga mirip seperti itu : Â berkuasa tapi minim dukungan di parlemen.
Ya, kita menganut sistem Presidensial, yang diperkuat dengan Amandemen UUD, tapi tidak sepenuhnya antar cabang kekuasaan terpisah, hanya dibagi (divide of power) jadi masih saling membutuhkan.
Jokowi bukan sosok yang besar dalam politik kita. Bukan ketua umum partai pula. Tak heran jika dia "sedikit kewalahan" dalam menghadapi tekanan dari para pendukungnya : parpol, pengusaha penyedia logistik, hingga relawan pendukung. Dia selalu berusaha "mengintegrasikan" tekanan dan visinya agar tetap berdampingan meskipun pada akhirnya berdampak pada program dan janji yang belum tuntas.
2)Prabowo Subianto menjadi Presiden
Agak sulit menmprediksi corak pemerintahan Prabowo nantinya. Tidak pernah terlihat rekam jejak di pemerintahan, praktis hanya di militer dan beberapa organisasi profesi dan olahraga.
Tapi, Prabowo adalah orang besar di kancah politik sekarang. Patron politik selain Megawati dan SBY, dan bukti nyatanya pada Pilkada DKI 2017 lalu. Jenderal yang tentu mahir dalam berpolitik. Punya kemampuan komunikasi dan integrasi kawan politik. Menjadi ketua umum Gerindra, partai yang meraih suara terbesar ketiga pada pemilu 2014. Kuat secara politik.
Saya rasa Prabowo akan memadukan kabinet dari kalangan parpol pendukung dan profesional. Dia bisa lebih leluasa menyusun mengingat kekuatannya sebagai patron politik. Dia mungkin akan lebih memercayakan posisi penting kabinet pada sosok kepercayaan dan profesional yang mampu menjalankan program "Ekonomi Kerakyatan" yang ia gaungkan sejak muncul di pentas politik nasional lewat Gerindra yang ia dirikan.
Corak pemerintahan tak akan jauh dari kata konsolidasi, koalisi, ekonomi kerakyatan, dan mungkin akan lebih mesra bersama AS. Berbeda dengan petahana yang bermain di dua kaki, namun agak lebih akrab dengan tetangga dekat ketimbang sekutu jauh.
Ya, itu hanya prediksi dan asumsi yang saya buat. Mungkin tak seakurat Bung Kusnaeni memprediksi jalannya pertandingan sepakbola. Tapi, dalam politik dikenal pendekatan perilaku.
Perilaku politik dianggap memiliki keteraturan tertentu, diukur secara kuantitatif sehingga bersifat lebih empiris. Meskipun kita tahu bersama bahwa politik sangat dinamis, sama seperti sepakbola. Saya amati kecenderungan perilaku,latar belakang dan pandangan dari keduanya.Â