Teringat tahun '97-'98, negeri ini pernah mengalami distrust perbankan. Hampir semua bank mengalami kekalutan penarikan tunai oleh nasabah. Hanya dalam waktu sehari, sirkulasi penarikan tunai oleh nasabah mencapai titik yang mengkhawatirkan menurut Bank Indonesia. Miris kalau masyarakat sudah terjangkiti ketidakpercayaan atas lembaga resmi.Â
Sebulan yang lalu BPK sempat digiring untuk teropinikan agar tidak dipercaya. Syukurlah, Dewi Fortuna masih menemani lembaga resmi negara yang berhak mengaudit ini. Kepercayaan masyarakat tidak tergerus, malah melambung, apalagi usai BPK diperkenankan bermarkas di kantor PBB.
Rupanya, gelagat meruntuhkan ketidakpercayaan ini mulai merambah dunia pendidikan. Profesi guru terguncang berkali-kali oleh ulah sebagian wali murid yang aneh-aneh. Anehnya, keanehan ini dibiarkan saja, baik oleh hukum, aparat, insan pendidikan, media, maupun masyarakat.Â
Terasa sekali, bangunan opini atas "kekuasaan" guru berada dalam wilayah abu-abu. Antara maju terus dengan segala tafsir pelayananan didkannya, atau meratap sendiri dengan potensi risiko-risiko yang akan menghadang imbas dari hadangan sebelumnya.
Seberapa bahayakah imbas atas kejadian-kejadian yang terjadi itu?Â
Saya sebagai pelaku pendidikan bingung juga mengurai paradigma yang terjadi ini. Benarkah teguran saya, hardikan saya (jika sudah dalam kategori perlu dihardik) harus saya lepas atas nama mudahnya melanggar hukum? Sementara fakta lapangan, jika saya diamkan, tanpa teguran, tanpa hardikan (tentunya telah diawali dengan nasihat) anak didik saya, anak yang telah dipercayakan orang tuanya kepada sekolah, akan semakin tenggelam dalam keliaran norma dan etika.
Sungguh, membangun karakter pada ratusan, bahkan ribuan watak siswa tidak bisa dipastikan dalam jalur yang sama. Mengapa harus ada gaya belajar kinestetik, interpersonal, dan seterusnya? Ya karena kebutuhan dalam melayani watak siswa memang harus berbeda-beda. Menegur, menghardik, bahkan mencubit (bagi seorang guru) seharusnya diikhlaskan oleh dunia pendidikan sebagai satu kesatuan hasrat guru untuk mencipta siswa agar baik.Â
Silakan teruskan jabaran saya itu dengan segenap ketinggian nilai-nilai yang menjadi visi pendidikan, niscaya mata jernih kita tidak akan pernah menemukan sebuah kriminalisasi di dunia pendidikan. Kalau toh ada, kasus itu akan bisa diurai, apakah memang si guru yang sedang stres, atau memang guru dalam posisi sedang memberikan pelayanan terhadap siswanya.
Kuncinya pada dua hal:
1. Samakan visi dalam melihat perilaku guru dalam memproses anak didiknya. Hal ini bisa diamati dengan jelas dan terbuka, apakah guru tersebut melayani dengan benar atau memang ada kelainan pada guru tersebut. Jika kesamaan visi ini berada dalam saling serang, jangan harap ada kelegaan hati antara guru dan orang tua dalam membaca pelayanan guru kepada anak didiknya.
2. Jangan terlalu gegabah telah terjadi pelanggaran hukum ketika ada satu peristiwa yang menimpa anak didik, sang putra. Telisik sama-sama antara guru, sekolah, dan orang tua dengan membuka kembali catatan-catatan atas diri siswa. Sejatinya, jika sinergi pihak sekolah dengan orang tua berjalan harmonis, saya malah meyakini insiden yang terjadi bisa menjadi langkah pembenaran lebih lanjut bagi siswa.Â
Dari dua sebab itu, solusi yang tepat adalah membangun komitmen kemitraan yang berimbang antara pihak sekolah dan orang tua. Bentuk komitmen ini tentu bisa berupa apa saja asal telah terjadi diskusi hati. Saya tidak ingin menyentuh perundang-undangan karena dalam UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen maupun Permen yang ada sudah sangat mencukupi untuk menciptakan suasana pendidikan yang baik. Berkaitan dengan perundangan yang ada ini, kelemahan yang masih tampak adalah masih kurang konsistensinya dalam penerapan, baik oleh pelaku pendidikan maupun oleh regulator.Â