Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Revolusi Mental Ala Musda-Wimar (Minus Jokowi)

21 Juni 2014   04:48 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:56 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagaimana bisa, Revolusi Mental diterjemahkan dengan berjingkrak-jingkrak di lapangan basket oleh ratusan anak usia SMP-SMA. Dengan hentakan musik cadas, generasi penerus Cianjur - Jawa Barat ini larut dalam dunianya. Asal tahu saja, di momen itu juga, tertangkap kamera yang menunjukkan kerumunan anak muda bergilir menenggak miras, pesta miras! (TV ONE Kabar Petang, Rabu-Kamis, 18-19 Juni 2014).Akan menjadibiasa saja ketika pesta itu di luar kegiatan yang bertajuk dukungan terhadap salah satu Capres, sayangnya saat itu background panggung tertulis "Revolusi Mental".

Sehari kemudian, Musda Mulia memberikan statemen tentang penghapusan kolom Agama di KTP, alot juga pengakuan watak jujur wanita ini padahal sang capres tidak pernah menyetujui penghapusan itu. Apakah sudah usai? Belum! Kembali khalayak dikejutkan oleh postingan aktivis gaek, Wimar W. Tidak perlu dijabarkan apa postingan di akun FBnya itu. Info terkini, akun FB itu berhenti (entah sengaja di hapus atau rehat sejenak), kabarnya pula, dia telah meminta maaf kepada publik. Di sebuah media Bung Wimar menjelaskan jika ketertarikan memposting Gallery of Rogues, Kebangkitan Bad Guys” itukarena tema tersebut (menurut dia) menarik dan sama sekali tidak ada niatan politis kecuali untuk keisengan aktifitas ke-FB-an belaka. Semoga permintaan maaf dia bisa diterima oleh nitezen yang berteriak-teriak menghakimi postingan itu. Semoga pula dia menyadari bahwa ada lembaga yang memang pantas untuk "tidak perlu di tarik" ke ranah politik praktis, yaitu Muhammadyah.

Benarkah ini sebagai wujud dari pemanfaaatan figur Jokowi oleh suatu idealisme? Sulit untuk menjustifiasinya. Benar-benar ilustrasi kejadian yang pernah saya khawatirkan (ketika saya masih tidak berpihak) 3-5 bulan lalu. Uraian saya di artikel "Nasehat Tiga Jangan Untuk Jokowi" (lihat daftar tulisan di profil saya) memang meminta capres nomor 2 ini untuk "jangan menjauh dari agama". Untunglah, Jokowi telah mengklarifikasi pengakuan Musda itu (di Metro TV lupa tanggal tayangnya), sehingga saya memang perlu untuk menegaskan judul tulisan ini adalah seperti di atas (minus Jokowi). Sehingga pula, saya sedikit lega kalau ulah aneh-aneh yang memunculkan pembaharuan idea di kubu ini bersumber "bukan dari Jokowi".

Sangat kontradiktif fenomena di atas dengan pergerakan Jokowi yang telah bersusah payah, door to door, menjelaskan ke pesantren-pesantren untuk mengklarifikasi pemberitaan miring atas posisi visi keagamaannya. Menggugat Obor Rakyat memang perlu dilakukan karena ada hak untuk itu, tetapi membuka jelah kemiringan berita bertema resistensi agama/faham sangat perlu dihentikan. Publik sangat faham siapa-siapa di belakang Jokowi lengkap dengan track record masing-masing. Demikian juga publik tahu siapa di belakang Prabowo. Maka jangan pula publik dipertontonkan dengan telanjang siapa yang memulai hentakan-hentakan. Kalau itu hanya opini dari pendukung dan partisan tidaklah terlalu menggelisahkan. Tetapi ketika publik tahu ternyata keanehan itu ulah "ring satu", tentu eksesnya tidaklah ringan.

Tidak elok pula ketika gegeger itu dicuatkan dan kemudian ada yang merasa perlu menggugat selalu dianggap tidak pluralis, berpihak ke status quo, malah-malah dituduh memicu SARA. Logika semacam ini sudah sulit diretapkan di saat semua info begitu terbukanya. Kebenaran tidak bisa lagi dilihat parsial. Contoh yang sering dilihat adalah, bagaimana mas Anis B. selalu mendeklair jika orang baik akan kumpul dengan orang baik. Ucapan itu akan bermakna dalam apabila beliau dalam posisi kukuh dengan netralitasnya. Maka ketika beliau di posisi sekarang, tentu tafsirnya adalah kubu lawan merupakan kumpulan orang abu-abu. Sementara terbukti di kubu beliau sendiri tidak jarang ada yang bertingkah aneh yang membuat sebagian publik menanggap hal itu tidak baik.

Memang tidak bisa dipungkiri jika memanasnya situasi adalah rutinitas dari gejolak pilpres tahun ini. Namun sangat disayangkan kalau lontaran itu harus bernuansa perang idealisme. Kontroversi penghapusan sebuah kolom di KTP memang terkesan sederhana, tetapi harus dicermati juga jika ada sebagian yang menengarai ini ulah dari sebuah arus, apalagi yang melontakan sosok yang selama ini sering membuat statemen yang aneh-aneh, statemen itu sangat berpotensi menjadi penolakan dengan aneka warna isi penolakan. Begitu juga dengan kasus Wimar, bagaimana mungkin tidak bergejolak ketika ada nama tokoh JIL ikut memposting pula, apalagi sasaran yang dibidik (salah satunya) adalah Muhammadyah. Tafsir ini tentu akan kemana-mana, bisa jadi salah satunya adalah kesengajaan untuk membangunkan Muhammadyah dari netralitasnya. Nah, siapa yang memicu sebenarnya? SARA kah?

Saya tetap beranggapan Jokowi masih clear dalam kebisingan ini. Hanya ulah orang-orang dekat beliau yang ingin mencari sebab. Ironisnya, justru dengan sebab semurah itu menjadi sebab berharap untuk meninggikan nilai Jokowi. Saya yakin mas Anis faham betapa gambaaran ini bisa menjadi blunder bagi kelanjutan publik memilih calonnya. Masih belum saya lihat tokoh muda ini berani memberikan wacana jika kejadian yang ada memang ulah "ring satu" yang cukup merugikan prospek pengumpulan pundi suara. Jika mas Anis pun senyap dengan pernyataan kekecewaan atas ulah ini, maka statemen besar yang pernah beliau lontarkan (kala masih netral) menjadi lenyap selamanya, karena tidak ada lagi orang baik itu, karena semua terdiam dengan segala obsesi yang terpendam.

Andai Jokowi sejak awal di ajak untuk terjauhkan dari fenomena di atas, sangat teryakini potensi isyu (yang menurut kubunya setiap kali ada yang kontra) adalah SARA, akan lebih ramah dengan komunitas agama yang ada. Sejatinya dua kubu sudah sedemikian menunjukkan kebhinnekaan dukungan. Maka seharusnya pula diperminim seakan ada yang lebih mendekair lebih plural. Makna plural tidaklah harus mengatakan yang mayoritas berpotensi menindas.

Maka menjadi kewajiban dua figur kandidat untuk berani tegas menghardik orang di sekitarnya ketika berpotensi mencoreng nilai plural yang sedang dikibarkannya. Ingat, keduanya sudah menyatakn dalam debat jika sejatinya makna diskriminasi dan pluralisme sudah tuntas terjiwai pada diri keduanya.

Kertonegoro, 20 Juni 2014

Catatan :

Saya tidak bisamengupload beberapa ilustrasi gambar untuk mendukung uraian tulisan ini (termasuk foto pesta miras). Entah mengapa, postingan gambar itu selalu gagal di beberapa tulisan saya. Semoga tidak mengurangi faktualnya ulasan, sehingga tulisan ini terhindar dari upaya penyesatan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun