Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Respon Atas Dihapuskannya Kelas Akselerasi

12 Oktober 2014   18:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:21 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14130889341324629439

Akhmad Fauzi*

Pengertian Tingkat Kecerdasan

Dalam kamus Bahasa Indonesia arti dari tingkat adalah susunan yang berlapis-lapis, suatu kualitas atau keadaan lebih tinggi atau lebih rendah dalam hubungan dengan titik tertentu. Sedangkan kecerdasan adalah kesempurnaan perkembangan akal budi. Tingkat intelegensi sendiri berbeda-beda antara satu siswa dengan siswa yang lain. Untuk mengukur tingkat kecerdasan seseorang itu dikenal dengan istilah “Tes intelegensi” dengan menggunakan pedoman perbandingan antara umur logis dengan umur mental seseorang, yang biasa disebut dengan istilah intelligence quotient (IQ).

IQ adalah ukuran kemampuan intelektual, logika, dan konsep seseorang yang berkaitan dengan keterampilan berbicara, kesadaran ruang dan kesadaran sesuatu yang tampak. IQ mengukur kecepatan untuk mempelajari hal baru, memusatkan perhatian pada aneka kegiatan, menyimpan dan mengingat kembali informasi objektif, terlibat dalam berpikir, bekerja dengan angka, berpikir abstrak dan analistis, serta memecahkan permasalahan dengan menerapkan pengetahuan sebelumnya.

Di sisi lain, dengan berpijak pada konsep Renzuli, Yaumil (1991) menjelaskan sebagai berikut: (1) Kemampuan umum di atas rata-rata merujuk pada kenyataan antara lain bahwa anak berbakat memiliki perbendaharaan kata-kata yang lebih banyak dan lebih maju dibandingkan anak biasa; cepat menangkap  hubungan  sebab  akibat;  cepat memahami prinsip dasar dari suatu konsep; seorang pengamat yang tekun dan waspada; mengingat dengan tepat serta memiliki informasi aktual; selalu bertanya-tanya; cepat sampai pada kesimpulan yang valid mengenai kejadian, fakta, orang atau benda. (2) Ciri-ciri kreativitas antara lain: menunjukkan rasa ingin tahu yang luar biasa; menciptakan berbagai ragam dan jumlah gagasan guna memecahkan  persoalan;  sering  mengajukan tanggapan yang unik dan pintar; tidak terhambat  mengemukakan  pendapat;  berani mengambil resiko; suka mencoba; elaboratif;  peka  terhadap  keindahan  dan  segi-segi estetika dari lingkungannya. (3) Pengikatan diri terhadap tugas sering dikaitkan dengan motivasi instrinsik untuk berprestasi, ciri-cirinya mudah terbenam dan benar-benar terlibat dalam suatu tugas; sangat tangguh dan ulet  menyelesaikan  masalah;  bosan  menghadapi  tugas  rutin;  mendambakan  dan mengejar hasil sempurna; lebih suka bekerja secara mandiri; sangat terikat pada nilai-nilai baik dan menjauhi nilai-nilai buruk; bertanggung  jawab,  berdisiplin;  sulit  mengubah pendapat yang telah diyakininya.

Dihapusnya Kelas Akselerasi

Berangkat dari penjelesan di atas, untuk lebih mengoptimalkan pelayanan pendidikan kepada siswa perlu diberikan perlakuan dan pelayanan pendidikan khusus kepada siswa yang memiliki  kemampuan  dan  kecerdasan  luar biasa agar  dapat  mengembangkan  bakat, minat, dan kemampuannya secara optimal. Program tersebut dikenal dengan program kelas akselerasi. Kosekwensi logis dari program ini adalah adanya persiapan khusus untuk memberikan penguatan dari hasil yang ingin dicapai nantinya. Persiapan khusus yang penulis maksud adalah penetapan kualifikasi siswa, penetapan guru, penerapan kurikulum yang dipakai sampai pada proses belajar mengajar harus tersetting dengan benar dan sempurna.

Dengan tidak bermaksud menafikan kehebatan konsep akselerasi dalam ranah pendidikan nasional, penulis merasa lega mendengar pernyataan Dirjen Dikmen yang akan menghapus program kelas akselerasi ini. Seperti halnya saat diterapkannya RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional), ekses yang tampak adalah menggelembungnya anggaran atas program ini. Muaranya adalah adanya eksklusifistisnya dunia pendidikan atau lebih vulgarnya adalah adanya pensekatan kesempatan. Ironisnya, dalam praktik sering dilihat adanya peminggiran-peminggiran kesempatan bagi kelompok masyarakat yang rendah ekonomi. Lebih ironis lagi, tidak jarang menjadi lahan untuk melegalkan "pungutan" dengan dasar pelayanan eksklusif itu sendiri. Setahun lalu RSBI telah dihapus, setidaknya (menurut penyataan dirjen) tahun depan program kelas akselerasi yang akan dihapus juga.

Sebagai pendidik, kelegaan yang penulis rasakan bukan berangkat dari persepsi keirian atau nilai-nilai buruk lainnya, tetapi memang penulis masih melihat adanya kontradiksi dari dua program besar pendidikan ini. Di satu sisi cukup baik untuk mempercepat pembaharuan wajah pendidikan yang tentunya nanti akan melahirkan lompatan-lompatan hasil, di sisi lain "kreasi" akselerasi (dan RSBI) menjadi semakin menunjukkan adanya ketidak-seimbangan pemerataan pendidikan yang harus dijaga ritmenya oleh pemerintah. Bukan berita baru adanya sekolah yang hampir roboh di sebagian tempat, sementara di tempat lain mudahnya sekolah menambah dan mengembangkan sarana yang dimiliki. Begitu juga dengan gaya pelatihan guru, sering kita dengar adanya sistem asal comot untuk menugaskan guru mengikuti pelatihan sehingga ketidak-merataan pelatihan guru semakin telanjang.

Penjabaran kontradiksi ini bukanlah hal baru, karena sering disuarakan baik oleh pengamat, praktisi, maupun pelaku pendidikan itu sendiri. Namun sepertinya tidak ada respon yang aktif atas suara-suara itu. Contoh untuk yang lebih mutakhir seperti diberlakukannya perubahan Kurikulum 2013. Inipun telah banyak suara-suara minor yang terlontar, mulai dari kontens kurikulum yang berlebihan, rumitnya sistem penilaian, target yang lebih berbau administrasi sampai pada penyediaan buku pegangan guru dan siswa.

Maka tidak salah jika banyak pengamat yang mengatakan pendidikan di Indonesia masih dalam taraf coba-coba. Bahkan ada yang lebih ganas lagi mengatakan sebagai bagi-bagi proyek, dus pula, terkesan hanya untuk mengibarkan bendera kuasa. Menutup image semacam ini memang sudah diusahakan pemerintah, namun nyatanya di ranah penerapan juga yang sering menimbulkan potensi bermasalah.

Menghindari Program Yang Rentan Diskriminatif

Bagi pengambil kebijakan di pusat, program-program semacam ini (RSBI dan akselerasi) memang merasa perlu dilakukan sebagai program mercusuar untuk mempercepat geliat dunia pendidikan utamanya di mata dunia. Tipologi percepatan atas inovasi-inovasi di dunia pendidikan nasional memang perlu dilahirkan. Namun disayangkan, seringkali program-program itu berbias ketika memasuki tahap aplikasi. UN yang dipersiapkan dengan sempurna ternyata banyak hambatan dalam proses pelaksanannya. Diskusi pendidikan yang selalu disampaikan jika terjadi kesenjangan antara kondisi pusat dan daerah sehingga menimbulkan peluang polemik validitas hasil UN, menguatkan persepsi jika masalah fundamental pendidikan negeri ini berada pada tidak meratanya pelayanan.

Konsep pendidikan sebenarnya jelas, yaitu “usaha sistematis yang disengajakan, yang dibuat oleh masyarakat untuk menyampaikan pengetahuan, nilai, sikap dan kemahiran kepada ahlinya, usaha memperkembangkan potensi individu dan perubahan yang berlaku dalam diri manusia”(simpulan penulis; mengambil dari berbagai pendapat ahli). Sistematis di sini bukan menitikberatkan pada hal-hal verbal (ruang ber-ac, satu anak satu komputer dan lain-lain) atau yang bersifat ukuran pasti. Sistematis (menurut penulis) lebih ditekankan pada penguatan proses saat terjadinya transfer ilmu. Mulai dari kesiapan kurikulum, kematangan strategi mengajar, metode yang akan diterapkan sampai pada “improvisasi” pengajar (guru) di dalam kelas.

Penulis masih meyakini kalau pendidikan akan semakin bergairah dan maju jika pemerintah, pelaksana regulasi, praktisi pendidikan, dan masyarakat  melihat pendidikan sebagaiamana mestinya. Maksudnya :


  1. Dari sisi pemerintah diharap berposisi sebagai regulator. Regulator adalah penentu bagaimana bola pendidikan sesuai dengan amanat Undang-Undang. Baik dari sistemnya, kelayakan perangkat lunak dan kerasnya, kesamaan hak, dan kesamaan “kue” anggaran.
  2. Dari sisi pelaksana diminta untuk sungguh-sungguh dalam mengawal regulasi yang ada, baik yang berupa perangkat Undang-Undang maupun yang berbentuk anggaran.
  3. Bagi praktisi (guru), harus menyadari bahwa titik tumpu pendidikan (pembelajaran) ada pada pundaknya. Menyadari tupoksinya dan menyadari status keprofesionalannya.
  4. Untuk masyarakat harus berani tampil memberikan respon (yang positif) atas segala warna pendidikan, baik yang ada di lingkup lingkungan mereka maupun yang berskala nasional.

Keempat komponen itu harus pula menyadari bahwa hakekat pendidikan itu ada pada proses bukan terfokus pada hasil semata. Proses dalam pendidikan harus be-ruh-kan memanusiakan manusia, bukan menyamakannya dengan proses pembentukan baja atau benda lainnya. Di dalam proses yang mesti dicermati adalah guru, siswa, metode, dan (kalau ada) bisa disempurnakan dengan media/sarana. Faktor guru sangat menentukan, jadi salah kalau kita menggebu memoles media dan sarana sementara guru tidak pernah beranjak dari gaya lamanya.

Moelyadi (2000) mengemukakan tugas guru adalah mendidik dalam arti mengajar untuk  memberikan  pengetahuan  dan  meningkatkan  kecerdasan,  melatih  dalam  arti membekali  keterampilan,  dan  mendidik dalam arti memasyarakatkan sikap taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi  pekerti luhur mempertebal kebangsaan dan cinta tanah air. Mempercepat ketertinggalan yang tertinggal lewat memeratakan akses pelayanan kebutuhan pendidikan lebih menjanjikan percepatan wajah pendidikan secara utuh.

Lebih dari itu menghindari nilai verbal seperti kelas akselerasi, RSBI sampai pada sekolah projek bukanlah hal yang harus menjadi fokus garapan, tetapi hanya sebatas pendukung. Mengangkat yang sedang minim pelayanan lebih memberikan makna dari pada mensport kondisi sekolah yang sudah di atas batas pelayanan minimal. Ingat, Pendidikan tidak akan mati (dan memang akan berjalan terus) meski proses pembelajaran harus melingkar di bawah pohon dengan beralaskan selembar daun lontar. Tetapi ingat juga, pendidikan akan hilang ruhnya jika tersekat dan parsial.

Kalau toh salah satu alasan Dirjen Dikmen atas penutupan kelas akselerasi ini karena konsep kelas akselerasi sudah tercukupi di Kurikulum 2014, maka penulis lebih suka mengatakan jika siswa bukanlah robot. Dengan kata lain, ada hak bagi siswa untuk membagi rata waktunya antara belajar dan bermain. Jangan lupa pula juga harus bersosialisasi dengan realitas sosial yang ada. Keseimbangan ini akan membentuk keutuhan hasil seperti yang diamantkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Wallahu'alam.

Link literatur :

http://news.okezone.com/read/2014/10/08/65/1049834/tahun-depan-kelas-akselerasi-dihapus

http://kuliahgratis.net/tingkat-kecerdasan-siswa/

http://srihendrawati.blogspot.com/2012/04/program-akselerasi.html

Kertonegoro, 12 Oktober 2014

Ilsutrtasi : news.okezone.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun