Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pertiwi Hamil Tua?

17 April 2014   03:27 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:35 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13976544751666455251

Ini adalah hasil catatan saya semenjak jauh sebelum digelarnya pileg seminggu lalu. Judul di atas memang asli judul pertama ketika catatan diri untuk mendokumentasikan segala tema-tema segar yang terjadi sepanjang persiapan pemilu tahun ini. Inspirasi memberi judul itu berangkat dari terlihat menggeloranya berbagai macam debat idealisme yang berkembang di media (utamanya medsos). Takut juga sih memberi judul seperti di atas, jangan-jangan dicap sebagai Anwar Sanusi (pencetus awal isitilah ini, petinggi CC PKI) yunior, atau malah bisa jadi Aiditnya!

Mohon dimaklumi jika judul ini demikian karena telah menjadi jiwa dari catatan diri saya sebelum dan sampai tulisan ini di buat. Bukan untuk menggugah sejarah masa lalu atau menjustifikasi serombongan ide yang sedang berkembang selama ini. Dua alasan saya untuk memberi judul demikian, 1) mengamati dari wacana yang berkembang selama ini fokus untuk rindu merevolusi sesuatu agar terjadi tatanan baru begitu menguat, 2) Terbaca jelas sekali jika Indonesia sedang diperebutkan berbagai macam faham dan ideologi dengan segala kepentingan di belakangnya. Mulai dari menguatnya semangat negara agama sampai pada mabuk agama sehingga agama dianggap hanyalah candu belaka. Mulai dari membumikan potensi anak negeri sampaitercengkeram-kuatnya tangan-tangan asing menjamah negeri.

Kondisi tersebut bukanlah hal aneh, mengingat satu dekade ini Indonesia begitu vulgarnya dengan kebebasan sehingga berubah menjadi "gadis cantik" untuk bisa dititipi cintanya. Semakin meninggi ritme pertarugan faham itu setelah fakta yuridis memberi peluang adanya pergantian kepemimpinan tahun ini di Indonesia. Tentu wajar jika moment perguliran kekuasaan ini tidak boleh dilewatkan begitu saja. Apalagi ada kebingungan di sebagian masyarakat akan tokoh yang bisa dipasrahi perbaikan hidupnya. Jadilah situasi ini menjadi amunisi yang tidak habis-habisnya untuk dilemparkan ke publik menjadi pertarungan wacana.

Benar-benar unik melihat situasi perpolitikan selama hampir setahun ini. Segala geliat yang ditampilkan di kaca media seakan menjadi pembenar jika 2014 ini adalah moment "hidup atau mati:. Suatu jargon yang lumrah saja bagi pekerja ideologi apa saja di belahan dunia ini. Maka, hari demi hari konsep pemberitaan di masyarakat senantiasa berwarna perang berita dan debat opini. Apapun dilakukan, mulai dari merangkul media, merangkul lembaga survey sampai merangkul kekuatan di luar diri alias supranatural.

Menjadi aneh saja bagi saya yang mengintip dari kejauhan, betapa mudahnya menyerang tanpa etika, betapa senyapnya dalam mengelabui, betapa beraninya memutar berita. Tidak ada satu tokohpun di negeri ini yang tidak pernah tercercakan oleh segelongan lain. Alibi yang dipakaipun kadang rapi dan meyakinkan. Begitu juga dengan pengelabuan-pengelabuan, bagaiamana bisa caleg yang begitu buramnya di masa lalu baik dari sisi etika maupun moral, begitu saja lolos untuk diberi kesempatan dipilih menjadi wakil rakyat. Apalagi pemberitaan, nyaris tidak ada satu tema beritapun (utamanya tentang politik) dari suatu media yang tidak terasa muatan politisnya, sampai-sampai Ujian Nasional pun sempat tersenggol nuansa politis ini.

Mudahnya menyerang tanpa etika, amburadulnya seleksi calon wakil rakyat, sampai polusinya pemberitaan mengingatkan saya akan siatuasi yang pernah terjadi beberapa tahun lalu di negeri ini. Yang sangat terasa ada kemiripan adalah membesarkan suatu kasus agar menjadi opini publik, pun juga mengkristalnya pilar-pilar demokrasi untuk melakukan keberpihakan mesti itu terasa semu. Tangan asingpun terasa juga mulai menyentuh tanah katulistiwa.

Memang sangat tidak berdasar jika saya mengatakan ini adalah indikasi adanya pengulangan yang pernah terjadi. Terlalu prematur pula harus dikatakan sedang ada suatu gerakan yang ingin melakukan revolusi semacam setengah abad silam. Tetapi bisa dirasakan jika memang sedang terjadi tarik-menarik untuk memunculkan suatu kepentingan. Apakah itu? Kapan akan muncul? Siapa? Sangat naif jika (yang hanya catatan diri) ini harus menjawab pertanyaan di atas.

Cukuplah catatan ini menjadi dialog wacana pengamatan saya, kalau sekarang saya bagi ke pembaca tidak lebih untuk lebih mematangkan dialog yang telah saya lakukan itu. Masih terlalu panjangfase untuk menguak apa yang sedang terjadi di pertiwi ini. Nyatanya, pertiwi sedang ramai untuk menyambut putra terbaik bangsa agar bisa memanggul amanah yang akan dibebankannya. Apakah ritual lima tahunan ini harus mengaburkan tingginya karakter pertiwi yang selama ini dipuja-puji? Atau memang sudah waktunya terjadi perubahan yang signifikan dalam wajahnya? Atau ini hanyalah eufhoria anak bangsa untuk meramaikan perhelatan ganti kuasa?

Jawabnya ada di kita masing-masing, utamanya pada beliau-beliau yang sedang di gadang-gadang. Semoga hiruk pikuknya ritual kenegaraan ini tidak akan menghanguskan cerahnya wajah bangsa, tetapi lebih hanya karena kreatif dan nakalnya anak negeri dalam membunyikan suara.

Persada sedang diuji kekuatannya untuk bisa menghantarkan pertiwi kepembaringannya agar terus memimpikan yang indah. Catatan diri ini (hanyalah) ingin menyentuh dinding-dinding keramahan sesama dalam menatap Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat, merdeka, dan berwibawa.

Salam Pertiwi ku!

Kertonegoro, 16 April 2014

Ilsutrasi : dukunilmu.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun