Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menghujat Presiden (Memang) Jangan, Mencela yang Lainpun Ya Harus (Jangan)

5 Januari 2015   05:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:48 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14203843051339049894

Bukan hal baru jika menghujat memang sesuatu yang kurang elegan. Seyogyanya setiap diri menahan rayuan untuk bertindak menghujat. Menghujat memang enak, murah, tidak perlu susah-susah, dan terpenuhi hasrat sakitnya. Diyakini benar jika menghujat bukanlah ajaran agama. Jika ada yang berani melakukannya, jelas itu konsekwensi pribadi dari si penghujat.

Dalam kamus hujat-menghujat (jika ada), tidak ada bedanya dihati para penghujat itu antara figur presiden, menteri, tokoh, lembaga, bahkan kyai dan ahli agama. Maka judul di ataslah yang seharusnya disuarakan. Kepada presiden tidak elok menghujat, kepada yang lainnya pun sebaiknya dihindarkan. Bukan “objeknya” yang jadi masalah janganya, tetapi makna hujatan itulah yang memang tidak berbudaya. Hal ini perlu ditegaskan agar tidak terjadi salah tafsir memakna hujatan itu.

Anehnya, mengapa tema-tema menghujat selalu diminati? Baik untuk ditulis maupun dibaca? Baik menghujat presiden maupun menghujat lainnya. Lebih tragis lagi, “emosi” penolakan yang dilakukan selalu karena figur, bukan emosi yang terlahir jika menghujat itulah sebab dia emosi.

Andai masing-masing mahfum jika yang “diserang” adalah menghujatnya, bukan objek yang di hujat, maka resistensi perang dingin (baika atas nama agama, pilihan partai, maupun idolatri) mencair dengan sendiri. Yang terjadi adalah kebersamaan untuk bersatu melawan si (ahli) penghujat itu.

Apakah mengkritik itu sama dengan menghujat? Ah, saya kok tidak yakin pembaca (utamanya di komunitas ini) tidak bisa merasakan mana hujatan dan mana kritikan. Lha wong siswa kelas VIII saja sudah bisa kok membedakan (sekaligus membuat) kritikan dan hujatan. Dan, yang paling menyedihkan adalah ketika ada yang mengkritik, tetapi di komentar malah “lebih kejam” kritikannya.

Salah jika hanya Jokowi yang dihujat, baik di kompasiana ini maupun di medsos lain. Siapa yang merasa demikian berarti masih mengambang dalam memaknai hujatan. Nada-nada menghujat di media sosia (juga di kompasiana ini) sudah dalam titik nadhir. Disamping karena intensitasnya yang meninggi, tetapi penghujatnya malah jadi jumawa. Dianggap berani dan menjadi barometer lainnya untuk membuang hajat susulan. Berarti hujat dan menghujat menjadi nafas budaya baru untuk melepas kegundahan, baik sendirian maupun keroyokan.

Kembali, ketika kita telisik lebih jauh gerakan menghujat ini, sejatinya yang merugi adalah si pembuat hujatan. Kuncinya sederhana, hati tidak pernah bisa bohong dan peka akan kelembutan rasa. Ketika seseorang melakukan hujatan, sejatinya dia telah melawan hati yang ada. Dalam satu dua fase mungkin merasa lega dan “bernyawa”, tetapi dalam titik tertentu iner (bisikan hati) akan memaksa untuk merasakan jika itu salah. Intinya, karena menghujat itu membuat luka sesama dan mahkluk lainnya. Membuat luka (bagi yang percaya agama) adalah dosa, dan dosa selalu menyiksa hati!

Tidak ada sikap yang terbaik bagi yang melihat suatu hujatan selain mencoba meluruskan, jika ternyata malah dikeroyok, beri sedikit pencerahan. Kalaupun ternyata malah jadi bahan tertawaan, yah, tersenyum dengan mendoakan lebih kuat makna kearifannya.

Hentikan menghujat, silahkan mengkritik. Tetapi jangan membolak-balik antara makna hujat dan kritik, apalagi membolehkan hujat untuk sebagian dan melarang untuk sebagian lainnya. Karena menghujat dan mengkritik beda rasa dan beda proses dan aturannya. Juga, hati yang bisa merasa.

Warning:

1.Mengkritik adalah : memberikan tanggapan atas satu masalah dengan syarat : a) menggunakan bahasa yang baik dan sopan, 2) memberikan alasan yang jelas, lugas, dan logis, dan 3) disertai solusi dan ucapan terima kasih. (materi BIN kelas VIII, semester gasal)

2.Menghujat adalah : jika ketiga alasan itu tidak pernah ada! (kasar, menjatuhkan, mencela, tanpa ada alasan dan solusi yang jelas. Siapa yang merasa pasti terasa panas)

3.Menghujat bisa dilakukan siapa saja, lintas agama, lintas golongan, lintas partai, lintas strata. Karena ukurannya adalah nilai kearifan diri!

Kertonegoro, 4 Januari 2015

Ilsutrasi : kaskus.co.id

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun