Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengantung di Tepi Angan

11 Maret 2014   23:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:03 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(episode 1 : "Jujur, Memang Harus Cinta")

Maket besar rencana hati itu menggelantung ditengah hiruk-pikuknya bisikan. Kadang memanas, kadang lenyap, menggelinding bersembunyi. Lama berputar-putar tanpa ada lagi yang merawat. Selamat untuk hari-harimu, gadisku, yang berani bersandiwara menyembunyikan makna dan melepas jalinan dalam hentakan tangis tak bersuara.

Waktu bukan untuk dihindari, pelepasan setiap butiran rasa adalah batas maksimal akan habisnya niatan untuk berbicara dan menengadah. Jabat tangan ketika nadi bersentuhan sembari menitipkan secuil gula-gula adalah kepekatan jika harus dimaknai sebagai fatamorgana. memanjangkan cerita lebih lepas bebas tak berasa, memilah intipan setiap gerak yang ada adalah "rupa bara tanpa mampu tertahan rasa...!".

Seharian penuh menyusuri lorong waktu bukanlah permainan cantik untuk melebur kegersangan yang terjadi. Menengok ke belakang semakin memperjelas kesulitan untuk memburamkan langkah ke depan. Salahkah diri jika merindukan tidak terjadi pertemuan itu?

"Mas, jangan telpon aku lagi...", suara terakhirmu yang harus aku ingat setelah sebelumnya engkau menyesali kejadian itu. Bahkan memberiku kesempatan untuk menjelaskan pun tidak engkau perbolehkan.

Pelangi menumpuk dalam guratan langkah hari-hari ku. Mencerca semaunya segala upaya untuk memupuk kembali guratan-guratan manis. Teganya engkau yang datar saja mengalirkan benak ini dalam lipatan langkah kita selanjutnya.

Aku berharap ini hanyalah sekadar menyeka peluh setelah kerikil-kerikil itu bisa engkau lampau. Jadikan saja sebagai cermin sebetapa hebatnya pengakuan cintamu. Toh seringkali engkau mencuri pandang walau akhirnya ada pengalihan wajah sebagai wujud kehausan rasa yang lama terbiarkan. Teruskan menghadirkan ego itu selama nikmat yang engkau rasakan. Yang aku tahu, kita telah menitipkan keinginan di langit-langit waktu dan keabadian rasa.

Sekuat apa acuh yang mulai engkau tanam itu? Inikah hasil dari percikan duga yang semestinya bisa kita benahi langkah demi langkah. Melompatmu keluar pagar hanyalah pembalikan dari manisnya gula-gula yang pernah engkau titipkan.

"Sebaiknya kita mulai membagi langkah sendiri-sendiri, mas. Tidak ada yang bisa diharapkan dari perjumpaan ini. Aku akan belajar kembali ke posisi semula. Yang jauh dari cemburu, yang tidak lagi harus berharap akan perhatian, atau yang secukupnya saja menerima sapa, seramah-ramahnya. Marah ini terlalu berat untuk aku sandingkan dengan sayang yang mulai meninggi ini...", ucapmu menimpali serentetan alibi yang mencoba untuk aku tukar dengan keyakinanmu. Gadisku menunduk diam, semakin membuyarkan tatanan kata-kata yang ingin aku keluarkan.

Tidak ada tangis, kecuali kehancuran akan catatan yang telah sempat dibenamkan untuk saling percaya. Sungguh suatu pensiasatan keadaan yang seharusnya menghadirkan kedewasaan.

"Entahlah Die, akan kemana arah cerita ini berlanjut. Nyatanya, siapa yang bisa melepas kembali kebesaran rasa ini. Marahmu juga menjadi kebingungan ku kan? Apa yang harus aku lakukan? Padahal kembali ke titik nol bukanlah langkah yang elok dalam melihat situasi kita!".

Engkau beranjak, tanpa lagi memperdulikan aku yang sedang mengharap balas ucapmu. Kecuali hanya helaan nafas berat, menengadah ke atas.

"Entahlah Mas, aku juga berharap cintakita ada dan terus ada. Tapi sudahlah...".

Diiringi suara langkah menjauh, sementara aku harus menunduk dalam ketidak-pastian. Dalam ketertundukan aku bisa membayangkan betapa gemulainya langkah gadis ku ini. Benar-benar tidak berani membayangkan apa yang sedang ia rasakan.

"Die, aku belum bisa menerima kita berpisah...", ucapku semakin tertunduk. Jawab yang ada hanyalah semakin menghilangnya langkah itu.

----)***(----

Kalau tidak salah sudah lima purnama aku kembali dalam kesendirian lagi. Ucap dan sapa yang diiringi tatap mata menjadi gudang penyimpanan kata-kata dalam merajut duga-duga. Gadis itu tidak bisa menghilang dalam batin ini, lengkap dengan serentetan tawa dan sayu tatap mata. Ketajaman pisau cinta yang ia benamkan dalam selembar catatan hidup ini melahirkan ketakutan kalau saja tidak bisa melupakannya.

Apa yang harus aku perbuat dengan gerah ini. Menghubungi adalah kebodohan saja, karena bentuk amarah itu bukan aku yang membuatnya. Membiarkan juga dilema, siapa tahu garis amarah itu hanyalah sket logika untuk melahirkan peninggian cinta di hati.

Sejak awal gadis ini memang penuh keburaman karakter, sulit terbaca sedang berpihak ke mana wacana hati yang ada. Tidak gampang menjinakkan karakter semacam ini, butuh kejelian ekstra untuk membangun kesefahaman rasa. Perdebatan berhari-hari menundukkan keyakinan sebenarnya bisa menjadi amunisi untuk menenggelamkan amarah yang sedang ia rasakan. Apa lacur, dia malah terbuai amarah itu,bahkan berani mengambil keputusan untuk membagi langkah baru lagi.

"Jangan cepat-cepat memutuskan mas, dipikir-pikirlagi. Merajut cinta apalagi untuk masa depan bukanlah harus gegabah. Aku sih berharap kita jumpa dalam kepastian yang utuh...", akhir kalimat untuk mengawalai langkah berdua.

Sore itu begitu berarti dalam hidup ini, akhir dari perdebatan panjang yang sengaja engkau ciptakan untuk membaca apa yang ada semestinya. Waktu sudah mendekati asar, hujan sudah turun 30 menit lalu. Gaun yang engkau kenakan menambah ketajaman suasana. Hem warna merah dengan celana gelap yang sedikit ketat menampakkan jika engkau sudah menyiapkan hati untuk menerima cinta ini. Gaya santaimu ketika mendekati aku di kursi panjang itu menjadi perhatian yang serius akan kebermaknaan kehadhiran gadis ini dalam perjalanan hidupku selanjutnya.

Yah, awal yang indah, kini semua menggantung lagi. Tanpa kejelasan batas waktu, tanpa ada ucapan "harus bagaimana". Semoga angin siang ini menghembuskan warna hati ini, mengabarkan setiap makhluk hidup jika ada yang sedang mencintai tetapi menggelantung kepastian akan cintanya. Sementara sang tercinta sering mengabarkan lewat liriknya jika iapun ingin berkata jua.

"Die, menghadhirkanmu disetiap pejaman mata adalah kepastian jawab dari sakitnya hati melihat sakitnya engkau menahan amarah itu. Jangan paksa aku untuk menidurkan semua ini, sementara sapa dan tawamu masih teramu adukan gejolak. Aku membiarkan, agar semakin terbaca oleh alam, jika kita sedang dalam proses meyakini bathin".

Tulisku mengakhiri catatan pribadiku hari ini, sembari memeluk fatamorgana yang sulit aku tangkap maknanya.

.............. (bersambung!)

Kertonegoro, 11 Maret 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun