(Renungan Jum'at : "Jangan Ajak Kami Ikut Marah")
Amati juga durasi tayang, hentakan pertanyaan reporter, pengamat yang di undang, tema yang dibicarakan, padukan dengan pemolesan isinya…. Wooowww, seakan melihat stasiun TV baru…..!!! Semahal idealisme yang hilang itukah harga kursi keberpihakan?
Menjadi kecurigaan diri, kiamatkah jika kalah? dan sebegitu nikmatkah jika menang? Dan, ada agenda sebesar apa yang akan digotong untuk negeri ini? Jangan diteruskan menggali kubur sendiri….
Tidak seperti lazimnya pilpres kali ini. Kalau alasan karena efek merambahnya tehnologi informasi mungkin masih bisa diterima. Begitu juga dengan logika "pertarungan" face to face, cukup masuk akal. Tetapi mengapa harus mulai menenggalamkan kekuatan independensi media massa? Jika itu hanya sebuah situs, bukanlah kegalauan yang ada. Terasa, ini bukan sekadar perang opini di media.
Kepekaan naluri reportier sejak lama diagungkan nilainya. Mampu mendobrak tatanan, mampu menggulingkan rezim, termasuk menjadi unsur utama keaslian suara hati rakyat. Kini...
Tiga bulan ini, kilauan mozaik indah reportase menjadi barang langka. Satu setengah bulan ini, hak suara rakyat tenggelam oleh geliat secuil sosok. Ironisnya, durasi tayangan selalu mengkilaukan dibarengi menghasut, meninggikan dengan menohok, mencerca untuk diambil efek mutiaranya.
Rakyat diberi gelar atas nama, menyeret psikologi yang dimiliki dengan memoles atau berjanji. Gambaran wajah asli, yang sebenarnya, tidak kentara lagi. Jarak keasliannya sejauh pesan yang dititipkan.
Pemilihan presiden adalah nikmat, benar-benar nikmat. Bukan nikmat bagi yang menang, nikmat bagi yang bergelantungan di sekitar pemenang, bukan juga nikmat untuk ancang-ancang menghitung peluang. Bukan akan bisa menikmati untuk "melibas". Nikmat yang ada adalah sebagai wujud kerelaan Sang Kuasa kepada negeri ini untuk melakukan aktifitas kenegaraan sewajarnya. Sebuah kerelaan waktu, dan jangan dianggap sepele kerelaan Tuhan ini.
9 Juli nanti bukanlah kiamat, kecuali bagi mereka yang sejak awal mula sudah menyusupkan niat jahat. Hanya yang takut kalah saja yang tanpa sadar menggerus kepercayaan diri akan nasib selanjutnya. Hanya mereka yang tidak percaya akan kebesaran negeri ini sehingga harus melibas dan takut dilibas! Seolah "kue" nantinya tidak cukup dibagi rata dengan besarnya anak bangsa. Menyegerakan memberi sinyal "ikhlas" jika kalah lebih menjadi jawab jika perhelatan ini sebagai kewajiban dan tanggung jawab sebagai warga negara yang satria. Bukan arena untuk mencipta aniaya!!!
Laknat jelas prosedurnya, diberikan bagi yang gersang rasa syukur dan berani menipu waktu dengan kehalusan kebohongan. Strategi dengan keputihan niat menjadi penyulut pasti jika akan berwarna rahmad atau laknat. Kehebatan karakter kedua calon akan hanyut tak bermakana begitu dijejali seringai ambisi pendukungnya. Dan, kehebatan karakter keduanya itu bisa terbaca dari tarian sang calon menimang besarnya ambisi orang disekitarnya.
Ingat, laknat tidak harus dirasa di dunia, bisa menabrak sang diri, bisa juga terpental di orang-orang sekitarnya. Dalam sejarah negeri, laknat lebih pada ekses ambisi yang ingin berkuasa, dan derita rakyat sebagai imbasnya. Sementara ambisi itu berputar-putar lagi mencari jaman yang tepat untuk berhembus kembali.
Sulit dipercaya, jika pengakuan baik dan kebaikan hanya di sisinya sendiri. Ketika rasa baik itu diklaim sebagai trade mark kubu, sesungguhnya ada yang disembunyikan di balik kebaikan itu.
Tidak ada yang retak di negeri ini, kecuali hanya suara untuk memanggil bala opini dari luar wahana!!! Seolah Indonesia dalam bahaya, padahal (di negeri ini) lebam oleh secuil katapun sudah terakomodasi dalam nilai hukum yang ada.
Negeri syurga nusantara, yang detik ini sedang diuji kebenaran adanya syurga itu, oleh sebagian anak negeri, sendiri. Rakyat sedang melihat kebesaran hati pemimpin (untuk) keluar dari ruang uji ini...
Kertonegoro, 27 Juni 2014
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI