Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Lompat Pagar!

11 November 2014   18:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:04 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1415679371255139335

Pagar makan tanaman,perilaku nista yang menyebabkan banyak yang terluka. Menghinakan, tidak jarang berakhir dengan tragis. Bahkan sekarang berevolusi untuk menjadi sebab pemerasan.

Gara-gara melompat pagar, tujuh teman saya harus dikeluarkan dari sekolah saat ada upacara bendera. Dua anak yang selamat dari pemecatan, saya dan anak dari seorang guru. Itu terjadi duapuluh empat tahun silam. Kini, melompat pagar menjadi sebab muntahnya seseorang!

Melompat pagar karena pintu ijin terkunci. Bisa karena tidak dikehendaki, bisa karena takut, bisa karena benci. Hanya yang berani yang bisa melakukan pelompatan. Berani melawan arus, berani dicaci, berani membuat perubahan, berani menentang prosedur.

Simbol dari kepengapan situasi hati. Rumput di halaman tetangga lebih hijau, itu penglihatan rasa yang ada. Maka membuta mata melihat gersangnya rumput sendiri.

Simbol ketinggian maksud. Rotasi hidup yang hanya berjalan di tempat (diyakini) harus didobrak dengan melompat! Kecepatan waktu meniggikan pemenuhan kebutuhan hidup memaksa tembok apapun diterjang tanpa alang kepalang.

Simbol watak yang bergeliat selama zaman berjalan. Apa yang harus diharapkan dengan konservatifnya pola pikir? Begitu hentakan jengah yang ada. Hantam kromo istilah lamanya. Menjadi kewajaran jika harus ditatap sesuka yang melihat. Muntah, salut, unik, bahkan mengerikan akan menggejala dalam keberpihakan hati dan pikir dalam mensikapinya.

Wajah dunia yang wajar juga, itulah dunia, dunia dengan pola yang sudah menua, yang tidak pernah steril dari tafsir baik dan buruk sangka!

Kurang dari seminggu lalu, tiga siswa SMA harus dikeluarkan, bukan karena melompat pagar tetapi justru karena “tidak mau melompat”, justru ingin masuk lewat pintu. Andai melompat, bisa jadi terhindar dari pemecetan menjadi siswa di sekolahnya, dengan catatan tidak tertangkap basah. Anehnya, fenomena ini ramai di media bukan terfokus pada sebab dikeluarkannya! Ajaib hidup ini sekarang. Lebih menyukai konflik daripada mempersempit pelik. Jadilah “biar terlambat asal sampai di tempat” tidak lagi menggugah hati untuk melahirkan maaf. Media biangkeroknya, ketidaksiapan hati melihat “nakalnya” media sebab utamanya.

Menteri harus melompat pagar? Aksi atraktif yang hanya bisa dikerjakan oleh segelintir orang. Yang lain? Terlalu dini jika harus dikatakan “banci” dengan keaktraktifan yang pernah dilakukan sebagian orang. Etiskah yang melompat? Terlalu dini pula jika harus menilai demikian. Siapa tahu sang menteri terlalu faham dengan si pemilik pagar sehingga hanya dengan melompat yang bisa menyelesaikan masalah. Yang muntah? Biarkan, toh hanya muntah, tidak sampai atraktif menembak atau mengintimidasi secara fisik dan mental. Melebarkan tafsir kemuntahan itu juga tidak akan menghentikan gaya melompat sang menteri. Justru seharusnya, bagaimana agar ekspresi muntah itu menjadi cerita yang inspiratif bagi khalayak negeri ini.

Sayangnya, tanya-tanya yang ada selalu ditafsir dengan emosi beban akan “kepengapan” niat dan target. Jadilah, cerita muntah ini menjadi tragade fenomena. Sayangnya, tragedi fenomena yang selalu terulang setiap kali kali “perang opini” terjadi, di media.

Mengharap hati menilai untuk kebaikan tidak lagi terkampanyekan dengan baik dalam diskusi diri. Rona wajah kehidupan telah melebar tanpa terkendali. Sebenarnya cukup baik sebagai indikasi tingginya peradaban, namun, hati terlalu terbelunggu untuk menyuarakan yang halus-halus. Namun, hidup terlalu gersang dengan kegeniusan hati. Maka tidak aneh, banyak yang mencoba melompat-lompat untuk memakan tanaman seberang. Pagar norma, lupa dibuka, agar hati dan pikir punya teman untuk menganalisis fenomena, bukan menduga saja!

Kertonegoro, 11 Nopember 2014

Ilustrasi : www.indopos.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun