Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kembalikan Masa Emasnya (Catatan untuk Kasus Renggo)

7 Mei 2014   00:00 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:47 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13993702881952624299

catatan untuk kasus Renggo

(gestur inikah yang akan kita lahirkan!!!)

Perkenankan saya mengawali tulisan ini dengan menyampaikan keprhatinan yang mendalam atas peristiwa ini. Renggo Kadhafi, kasus yang telah memberikan keyakinan penuh jika telah ada yang salah dalam kehidupan sosial kita. Betapa kehilangan bagi kedua orangnya, betapa gelisahnya orang tua pelaku, betapa susahnya guru dan institusipendidikannya, betapa miris masyarakat yang melihatnya.

Sepatutnya pula diperminim statemen-statemen yang saling menyalahkan. Terdengar dari jauh Wakil Gubernur DKI menyalahkan pihak sekolah (guru dan kepala sekolah). Bisa pula sekali waktu mengorek kelamnya pelaku. Kasus ini tidak sama dengan kasul pedofilia, pelaku dan korban adalah anak-anak kita. Konsep bermain lebih menggumpal dari pada darah membunuh! Maka sangat sulit terdeteksi kapan waktu kejadian akan meledak seperti ini.

Mengkaji kejadian ini tidak semudah semisal kasus JIS atau kematian karena sangarnya senioritas di STIP. Pelaku dan korban dalam kasus Renggo adalah kanvas putih, itu pijakan berpikir kita. Kalau toh polesan norma dan ilmu guru serta rentangan kasih sayang orang tua harus berakhir pada ketragisan, apakah kita berani menjustifikasi jika salah poles dan salah merentangkan kasih sayang? Menyalahkan untuk muatan nilai kebaikan pendidikan serta ketotalan kasih sayang tidak akan menguak inti sebabnya. Saya yakin pembaca mengerti maksud dari uraian ini.

Mari kita sedikit menengok ke sisi psikologi, keberanian si pelaku sehingga menyebabkan penderahan pada selaput otak korban (berdasar rilis visum yang ada) seharusnya menjadi tanda-tanya besar, mengapa seberani itu si pelaku? Apa yang telah dilakukan si korban? Jarang terjadi anak seberani itu melakukannya. Karena nilai ketakutan bagi anak yang wajar sangat dominan dalam dirinya. Kehalusan pikir dan ketidak mengertian ditambah lagi tidak ada alasan memori masa lalu yang memaksa untuk sekeji itu menjadi alibi yang kuat jika peristiwa tragis itu tidak sembarang anak bisa melakukan. Dengan tidak bermaksud mempengaruhi dan membela siapapun untuk saya pribadi lebih berpandangan jika peristiwa itu lebih pada "kebetulan" saja. Seremeh itukah? Tidak, berangkat dari kebetulan inilah menjadi rasa penenang bagi semua jika kejadian itu tidak akab menjadi wabah semacam pedofilia ataupun AIDS!.

Kuantitas kejadian yang melibatkan kasus sejenis selama ini terlalu minim, apalagi untuk anak seusia SD. Kasus inipun tidak bisa disamakan dengan tawuran anak-anak SMP dan SMA yang lebih memiliki nalar membaca sebab akibat. Rasa kejam, bengis dan berani mengambil resiko tidak akan kita temui pada anak-anak seusia SD pada umumnya, kecuali memang sudah ada bibit-bibit yang "salah" sejak kecil. Kalaupun ada indikasi aneh sejak kecilpun tentu sebelum ada kejadian tragis itu pasti terjadi kejadian-kejadian sebelumnya. Jika ternyata selama ini keduanya dalam kondisi yang stabil dan wajar maka unsur kebetulan itulah yang saya maksud. Kebetulan tetapi mahal harganya. Oleh karena itulah mengapa saya menyapa semua pihak dengan keprihatianan yang tulus dan sedalam-dalamnya.

Justru yang menjadi ketakutan bagi kita adalah pasca kejadian itu. Efek dari kejadian itu jika tidak dimanage dengan baik oleh semua pihak, utamanya yang terkait dengan peristiwa ini akan menjadi beban yang berkepanjangan, baik beban untuk si pelaku, maupun beban psikologi massa secara keseluruhan. Menjustifikasi dengan menyalahkan (untuk kasus ini) bukanlah sikap yang elok bagi kelanjutan kasus. Ketika kasus JIS terungkap, menangkap pelaku adalah keharusan tetapi lebih harus lagi adalah menyelematkan "kesegaran" psikologi korban. Untuk kasus siswa SD ini, menyelamatkan kejiwaan pelaku dan kegelisahan masyarakat lebih diutamakan.

Si pelaku sekarang butuh bantuan untuk menyibak anasir dari ekses perbuataannya dan itu tidak mudah. Masyarakat butuh penenangan kegelisahan akibat persepsi yang berlebihan dari bayangan mereka sendiri.

Kembalikan masa keemasan si anak, itulah judul tulisan ini. Masa keemasan yang dibutuhkan bagi perkembangan jiwa mereka yang kini terengut oleh kesirikan dunia. Apa yang sehat dari hidup kita seharian saat ini. Kita melangkah keluar terdengar gesekan-gesekan, menghidupkan televisi hanya impian dan keberingasan (plus sering juga dosa-dosa). Masuk rumah kembali bentakan dan penggiringan-penggiringan. Mau sehat bagaimana masa emas mereka. Ruang kebebasan dari kehidupan anak sedikit demi sedikit terpinggirkan di pojok taman kehidupan. Mereka acapkali dipertontonkan kegilaan masa dewasa dengan segala analisis dan uraian yang salah. Tawa dan keceriaan bermain mereka dipaksa untuk membaca ketabuan-ketabuan.

Hilangnya masa emas ini seharusnya lebih menjadi prioritas kerja pikir dan hati bagi elemen bangsa ini. Hak anak yang seharusnya hanyalah bermain dan belajar sangat gersang di waktu-waktu sekarang. Seharusnya mereka diproteks sedemikian rupa selama 24 jam untuk mendengar hal yang aneh-aneh. memproteks dalam hal ini bukanlah berarti memberangus yang sudah ada tetapi menata pola hidup dia, rumah tangganya, dan kehidupan sosial masyarakat dan bangsanya. Bagaimana caranya?

Menemani si kecil melihat tayangan yang diidamkan sembari memberikan penjelasan akan tayangan itu adalah bentuk proteks yang kini hanyalah menjadi impian belaka. Memberikan keteledanan sembari mempersempit ruang gerak penistaan norma dan etika yang ada di tengah-tengah mereka di masyarakat merupakan upaya yang harus segera di lakukan oleh semua elemen bangsa. Menyerukan keramahan, keteduhan, dan etik kehidupan berbangsa adalah kewajiban total pemangku amanat negara. Jika ruang-ruang itu terisi dengan indahnya, saling bersinergi satu sama lain, bisa dibayangkan, udara yang mereka hirup di masa emasnya adalah energi kebaikan untuk bekal mereka di kemudian hari.

Mereka adalah kanvas putih

Yang belum tersentuh apapun

kecuali dari yang mereka lihat, dengar

dari yang alam lakukan

Mewariskan tabiat yang bejat

Dalam setiap hitungan detik kepadanya

Adalah neraka!!

Bukan saja bagi mereka

Tetapi juga kita

Sembari berharap kepada Tuhan, Allah SWT, sudah waktunya ada yang berani mendeklairkan diri sebagai pemasok kebaikan bagi kehidupan mereka, utamanya ketika di masa-sama emasnya....

Kertonegoro, 6 Mei 2014

Ilustrasi :klikcara.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun