Akhmad Fauzi
(05)
(Kartini-Kartini ku)
Semoga berkah, ridho, dan hidayah Allah swt. senantiasa dalam puncaknya.
Mari bersholawat, Nak, untuk menghadirkan rasa cinta dan hormat kita kepada baginda Roshulollah.
Tak terasa, engkau sudah dewasa. Bukan hal sepele, perjalanan waktu yang telah engkau lalui. Sulit memang mencipta syukur jika greget yang telah engkau langkahi itu tidak pernah dianggap sebagai bagian yang langka. Mensyukuri bisa menapaki langkah termasuk prestasi.
Kemarin aku ditegur oleh gurumu, karena merasa senang dengan prestasi-prestasimu. Walau berbisik, ketajaman makna yang disampaikan gurumu masih terasa sampai kini. “Mas, prestasi ini hal biasa, memikir pasca prestasi selanjutnya, itulah yang seharusnya…”.
Tetapi ia buru-buru melanjutkan, melihat kerutan di dahi papa. “Ihlaskan anak-anak ini untuk diuji oleh waktu, agar menemukan kekuatan dalam menggenggam Tuhan…”.
Diuji waktu? Wow, sebuah paradigma yang benar-benar pragmatis. Perpaduan antara asa dan kenyataan, antara maya dan realita. Antara hati dan pikir. Antara dogma dan kasus nyata.
Tadi malam papa menangis, tanpa air mata tetapi penuh isakan. Rupanya gurumu telah mengajak papa untuk membagi rata beban yang engkau sandang untuk diberikan sebagaian pada ketinggian sayang papa. Papa yakin, gurumu berhasrat benar agar papa mulai menyentuh kegembiraan jika sang putri sulung papa ini sedang disapa kenyataan hidup. Wow, babak baru perjalanan hidup papa diseparuh perjalan nantinya, insyaAllah.
Seharusnya papa gembira, Nak. Tetapi, malam itu papa harus bersenda-gurau dengan ketakutan dan luasnya kekhawatiran. Papa diajak diskusi dengan beberapa fenomena yang silih berganti bersila di depan papa! Peluh hati dan serak jiwa berdebat sengit dengan fenomena-fenomena itu.
Pertama datang, perawan molek tanpa cacat. Meminta ijin ke papa untuk mengajakmu melenggak-lenggok di antara gairah dunia. Semua yang diceritakan manis, bahkan teramat manis. Ketika ia meminta ketegasanku untuk mengijinkannya, papa balik bertanya : “Bab tentang agama belum engkau cerita, beri aku cerita tentang manisnya…”. Dia menangis, Nak. Ia mendekatiku, sangat dekat. Kemudian menuliskan sesuatu, lantas pingsan! Aku ambil secarik kertas hasil tulisannya itu, tertulis, “Aku lupa menitipkan, di mana…?”, dengan tanda tanya yang masih separuh selesai ditulisnya.