Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Itulah Kelaziman PDIP, Memang Harus Mendukung Ahok

20 September 2016   22:18 Diperbarui: 21 September 2016   11:39 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar : ervakurniawan.wordpress.com

Mengikuti sidang kematian Mirna, baru malam kemarin energi berpikir saya ikut tersedot. Perburuan kosa kata "lazim dan kelaziman" melenakan memori ilmu kebahasaan saya. 

Sebuan pertanyaan pengacara Jessica untuk menguak istilah itu malah mengajak sidang itu bermain-main dengan makna. 

Singkat cerita, makna kata lazim berusaha ditarik dari kandangnya. Dalam pemahaman saya, usaha mengulas makna lazim semacam itu, bisa menjadi potensi awal terjadinya perubahan makna. 

Ukuran kelaziman umum, berusaha untuk digugat dengan mengukur pada kelaziman personal. Mungkin dalam ranah hukum, hal ini adalah wajar. Mengingat batasannya adalah pasal-pasal. Tetapi, dalam dinamika bahasa, ukurannya adalah pemakai bahasa. Personal harus "sami'na waato'na" dengan pemahaman pemakai secara umum. 

Maka, tidak bisa kata "makan", yang lazimnya adalah memasukkan sesuatu ke dalam mulut harus digugat karena ada personal yang mengartikan makan adalah mengeluarkan sesuatu dari (maaf) dubur.

Kelaziman umum, menaruh paperbag dimana? Maka ukuran itu yang harus menjadi ukuran personal. Itu kalau mengacu pada ranah bahasa.

Maka, sangat lazim jika malam ini PDIP harus mengusung Ahok untuk pilkada 2017. Dan, sangat tidak lazim jika partai ini malah mendukung YIM, atau H. Lulung. 

Lazim pula, jika drama tarik ulur pencalonan ini harus dibuat untuk bergulir panjang dan seolah berekspresi tegang. Karena kelazimannya, politik memang selalu begitu.

Apakah kelaziman itu akan menghasilkan sebuah kebaikan atau kebenaran? Jika mengacu pada dunia bahasa, maka ukurannya ditentukan oleh pemakai bahasa itu sendiri. Dan, sangat prihatin saya jika kelaziman itu harus diubah hanya oleh pihak media atau segelintir orang saja.

Jika malam ini, pemakai bahasa bersepakat kata "munafik" dimaknai sebagai "jiwa yang terhormat". Maka, pada malam ini pula makna kata munafik itu berubah seperti keinginan para pemakainya.

Maka, kelazimanlah yang terjadi. Tidak ada yang perlu disandiwarakan atau dihebohkan, jika itu sudah dalam kelaziman. Itu Kalau dari ranah bahasa. Dan, saya melihat, malam ini, sandiwara dari satu kubu sudah sesuai dengan kelazimannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun