Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ironi Negeri: Hanya Melihat, Suka yang Instan

4 April 2014   22:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:04 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1396598986859359124

Akhmad Fauzi*

Kita pernah gigit jari melihat kenyataan Malaysia menempati peringkat lebih tinggi dalam bidang pendidikan di banding Indonesia. Dalam rilis tahun 2012, EFA Global Monitoring Report yang dikeluarkan UNESCO menempatkan Indonesia di peringkat 64, naik lima tingkat dibanding tahun sebelumnya. Tetapi Posisi ini tetap lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia. Untuk kelompok tengah yang terdiri dari 36 negara (di dalamnya ada Indonesia), Malaysia menempati peringkat ketiga sedangkan Indonesia menempati peringkat tujuh. Padahal kalau dilihat dari sejarah, tahun 60-an Malaysia menjadikan Indonesia sebagai basis penggemblengan mahasiswanya.

Ternyata kondisi ini tidak menjadikan Indonesia untuk sepenuhnya berintropeksi diri, malah sekarang berlanjut juga pada ketertinggalan kita akan gairah di dunia kesusasteraan. Moh. Khoiri (dosen UNESA) dalam tulisannya yang termuat di harian Duta Masyarakat, Minggu 30/3/2014 menceritakan catatan beliau bersama dedengkot sastra Indonesia, Budi Dharma. Novelis yang telah melanglang sejauh kiprah yang telah diukirnya. Menjadi keterkejutan bagi kita jika ternyata, dalam catatan dosen UNESA itu, Budi Darma lebih dimanfaatkan oleh negeri seberang dibanding negeri sendiri. Jerih payah dari bimbingan novelis ini terhadap novelis-novelis pemula di negeri orang telah menghasilkan banyak karya bagi bangsa tersebut. Sementara geliat menulis di Indonesia justru cenderung stagnan. Kalau toh menggeliat tidak lebih sebatas gerakan perorangan bukan gerakan yang terstruktur dalam khazanah pembinaan untuk memunculkan bibit-bibit yang tangguh.

Di sisi lain, gaya hidup dan pola pikir sebagian anak bangsa juga mulai mengkhawatirkan. Hal ini bisa dilihat dari sebagian pejabat dan politikus yang sudah mulai berani mempermainkan jabatannya. Atau adegan menyedihkan dari gaya-gaya berpolitik yang tampak akhir-akhir ini.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi di negeri ini? Benarkah sebatas itu kemampuan yang bisa diraih? Bisa jadi simpulan dari beberapa pakar yang mengisyaratkan Indonesia sudah terpuruk ada benarnya. Dunia pendidikan tertinggal karena terlalu lamanya negeri ini tidak serius dalam mengelolannya. Potensi sumber daya alam sampai detik ini sulit untuk sepenuhnya dikuasai anak negeri. Bidang ekonomipun banyak yang beranggapan jika Indonesia sebenarnya terjajah secara halus. Jadi, hampir semua sektor yang ada di negeri ini dalam kondisi cengkeraman "pihak luar". Sangat aneh sekali, karena Indonesia punya tiga Universitas (UI, UGM, ITB) yang telah diakui dunia internasional. Pun pula putra terbaik bangsa juga sudah bisa menduduki jabatan penting di lembaga moneter dunia. Tetapi mengapa selalu tertinggal? (baca: terpuruk)

1. Hanya Melihat

Ulasan Pak Emcho (Muh. Khoiri) di atas menjadi bukti kuat jika sebagian besar masyarakat kita lebih menyukai melihat dari pada membaca, apalagi menulis. Melihat adalah bentuk keterampilan terendah (di luar dari) empat keterampilan berbahasa. Jika aktifitas melihat itu diimbangi dengan pengambilan makna dari apa yang dilihatnya, maka potensi mengembangkan nalar akan terjadi peningkatan untuk berganti menjadi menyimak. Seterusnya bisa jadi akan berubah menjadi pelaku keterampilan berbahasa, utamanya sebagai pembaca dan penulis. Memang banyak variabel untuk memunculkan gairah membaca dan menulis ini. Tetapi setidaknya "kebiasaan" yang hanya melihat ini menjadi benih keakutan untuk malas berpikir.

Salah satu faktayang mungkin bisa menjadi pembenar adalah sepinya respon masyarakat dalam kegiatan-kegiatan membaca menulis. Beberapa waktu lalu di Malang diberitakan ada lomba bercerita untuk memperingati hari jadi kota itu. Dari reportase yang ada tampak pengunjungnya tidak bisa dikatakan memuaskan. Di samping hanya puluhan orang, bisa jadi pengunjung yang ada adalah gabungan antara penonton, pendamping peserta (guru dan panitia), orang tua peserta, dan peserta itu sendiri. Bandingkan dengan acara konser musik atau pertandingan sepak bola. Lebih faktual lagi, Indonesia merupakan pengguna FB terbesar di dunia yang diperkirakan mencapai 60 juta akun FB. Bandingkan dengan pemilik akun blog yang terdata hanya lima juta blogger di tahun 2012. Terbukti jika aktifitas melihat yang hanya melihat tanpa aktifitas pikir bisa jadi sudah menjadi kegemaran sebagian besar masyarakat.

Bagaimana dengan tingkat kegemaran membaca? Dari berbagai sumber terbukti pula masyarakat kita masih sangat memprihatinkan. Data dari hasil survey Organization for Economic Cooperation and Developmen (OECD) tahun 2013 menunjukkan bahwa peringkat kegemaran membaca bangsa Indonesia menempati rangking 124 dari 187 negara. Di lingkup terkecil sekolah penulis sendiri, gairah kebiasaan membaca bagi siswa bisa dikatakan minim sekali. Dari 38 siswa yang penulis ambil sampel, hanya lima anak yang aktif membaca dengan menyewa buku di perpustakaan, sisanya sama sekali tidak pernah membaca kecuali saat pelajaran di sekolah.

Suatu kondisi yang memerlukan perhatian cukup serius dari semua pihak, apa lagi sekarang "suka melihat" ternyata lebih cenderung menurunkan budaya baru berupa "pandai bicara". Dikhawatirkan sekali budaya pandai bicara ini terlalu melampaui batas sehingga etika dan moral tidak lagi diperhitungkan, karena bicaranya berdasarkan hanya sebatas melihat!

2. Suka Yang Instan

Ketika diberitakan kalau negeri kita hanya bisa mengekspor CPO kelapa sawit, penulis merasa heran dengan keadaan ini. Mengapa bahan minyak goreng ini harus diolah di luar? Apakah memang di dalam negeri tidak mampu membuat pabrik pengolahan CPO untuk menjadi minyak goreng? Ketika pasir besi harus diangkut berjuta-juta ton ke luar dari Indonesia, hanya rasa nelangsa yang ada. Penulis juga menemukan fakta yang hampir mirip dengan itu di daerah penulis, yaitu ekspor tembakau yang nantinya diolah menjadi cerutu. Sungguh suatu keheranan saja jika kita yang memiliki bahannya harus diekspor setengah jadi yang kemudian dibeli kembali dengan harga yang jauh lebih mahal karena sudah siap konsumsi.

Bisakah fenomena ini menjadi ironi jika negeri ini tidak mau bersusah payah untuk meninggikan nilai hasil yang dimiliki. Sebesar apa nafsu yang dimiliki bangsa ini untuk sesegera mungkin menikmati hasil? Padahal jelas dijabarkan oleh para ekonom jika sistem proses pemanfaatan semacam itu hanyalah pengelabuan belaka. Sampai batas mana kita akan terlena dengan gaya instan ini.

Ironisnya, hampir semua bidang tidak bisa lepas dengan falsafah instan. Dalam dunia politik, kita tergagap-gagap dengan kemunculan sosok-sosok yang entah dari mana datangnya. Dari dunia pendidikan pun sering tertemui keinstanan ini. Pola rekrutmen tenaga pendidik dan kependidikan yang masih ramai dengan suara sumbang, pensiasatan nilai untuk mengamankan keberhasilan merupakan indikasi-indikasi adanya budaya suka yang instan. Atau banyak lagi fakta-fakta sosial yang berseliweran di tengah masyarakat yang menyiratkan ketidakinginan untuk sulit tetapi dengan harapan mencapai hasil yang memuaskan.

Ironi negeri, hanya melihat dan suka dengan yang instan, suatu antitesis dari kondisi yang selalu stagnan. Mengupayaka perbaikan dan pencerahan seharusnya menjadi prioritas bangsa, karena tidak akan bisa terjadi perubahan yang signifikan jika budaya pola pikir yang ada masih dalam keterlenaan dan nikmat sesaat. Membalikkan situasi ini bukanlah hal mudah, butuh gerakan yang komprehensif dari semua elemen bangsa. Sudah saatnya ada upaya untuk memuat roadmap atas keterpurukan negeri.

Dua budaya miring di atas adalah temuan yang bisa dilihat di keseharian, memang bukanlah faktor yang vital untuk perjalanan negeri ini. Tetapi setidaknya menjadi titik penghambat untuk kemajuan yang ingin di capai. Dominasi asing yang saat ini dirasakan Indonesia bisa jadi karena kita terlalu mengabaikan kedua budaya di atas, sehingga selama perjalanan negeri, semua elemen bangsa hanyalah penikmat, bukan pelaku. Sampai kapan hal ini akan berubah? Policy pemerintah yang diimbangi gerakan dukungan dari masyarakat akan menjamin budaya yang melenakan itu menghilang dari kebiasaan hidup kita sehari-hari.

Rindu rasanya mendengar lagi jargon jika nenek moyang kita adalah pelaut. Suatu profesi yang penuh dengan falsafah "membaca dan melakukan" untuk menghasilkan. Bukan suatu generasi yang hanya bisa melihat dengan terlalu berharap hasil secepatnya.

Kertonegoro, 4 April 2014

Ilusreasi kitapkolik.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun