Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ingin Tahu Mengapa “Anjing” Dan “Bajingan” Terasa Kasar?

8 Maret 2015   01:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:00 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_401466" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Kompas.com"][/caption]

(Simak Pengalaman Siswa Saya)

*Salut untuk murid saya



Pasca menulis “Etika Bagi Ahok Dan Murid Saya”, intensitas perhatian “jual beli etika” saya dan murid semakin ditingkatkan. Maklum, dari sepuluh anak yang melanggar itu, ada tiga siswa yang berkategori “lumayan”. Dari tiga lumayan itu pula, satu yang sudah dalam stadium “gawat”.

Semenjak di kelas tujuh, si anak yang gawat ini sudah tidak terhitung keluar masuk ruang BK. Entah berapa kali orang tuanya harus dihadirkan ke sekolah. Hampir setiap kenaikan kelas, dia termasuk dalam catatan khusus. Sebuah kewajaran yang terjadi di semua sekolah.

Adalah siswa saya itu, dan sembilan teman lainnya, menjadi bagian kewajiban saya (salah satunya) untuk melenturkan etika yang dimiliki. Pasca penghukuman guru terhadap kesepuluh anak itu, tak henti-hentinya saya meminta informasi dari teman-temannya. Gelagat apa yang telah dilakukan usai penghukuman itu. Satu dua hari tidak ada keanehan dari mereka. Garis besarnya, dari informasi yang saya dengar, kesepuluh anak itu masih ada hasrat untuk baik. Ada upaya dari mereka untuk tidak mengulang lagi. Lega rasanya, meski sedikit tercoreng perjalanan membangun etika yang sedang gencar-gencarnya, untuk saya dan murid saya.

Malam minggu, seminggu lalu, seperti biasa menghabiskan dua jam-an untuk menelusur profil FB dari teman-teman, utamanya postingan dari siswa saya. Terbelalak mata ini ketika saya mampir di salah satu tautan siswa. Merinding juga, setengah tidak percaya dengan update status yang ia buat beberapa jam sebelumnya. Tergerak hati untuk memberikan komentar di postingan itu.

Senin pagi saya dikejutkan lagi. Kebetulan dua jam pertama usai upacara pihak sekolah meminta siswa untuk bersih-bersih karena besok ada tamu beberapa Kepala Sekolah untuk rapat dinas. Di sela-sela nimbrung bersama siswa, mengamatidan mengarahkan kerja bakti mereka, mata saya tertuju pada seorang anak yang serius menghapus sisa-sisa tulisan dan goresan tip-ex di meja dan kursi siswa. Serius sekali, padahal hampir semua teman lelaki di kelasnya sudah tidak fokus lagi untuk bersih-bersih. Ada yang main volly, ada yang ngrumpi, bahkan ada yang sudah melepas dahaganya di warung sekolah.

Besoknya, saya memberi bimbingan belajar di kelas itu. Kelas dari sepuluh anak yang terkena sanksi guru. Kelas yang ada tiga siswa yang lumayan. Kelas yang di malam minggu saya menemukan salah satu siswanya membuat update status yang cukup membanggakan. Kelas, yang kemarin saya melihat ada salah satu anak begitu tekun membersihkan coretan-coretan di meja dan kursi siswa.

Saat bimbingan belajar saya cek kesepuluh anak itu, ternyata semua sudah duduk manis di bangku masing-masing. Sungguh menakjubkan, ketika membahas soal nomor sembilan, jawaban siswa terbelah menjadi dua, antara B dan C. Begitu akan dibahas, ada satu anak mengacungkan tangan kalau dia memilih jawaban D. Subhanallah, ternyata jawaban D yang benar, dan dia sendiri yang menjawabnya!

Ternyakini dalam hati, hati memang naik turun. Dua kali (sekitar setengah tahun lalu) saya memergoki anak ini begadang di pinggir lapangan dengan teman-temannya, selepas jam 12 malam. Pinggir lapangan yang terkenal dengan perilaku yang kurang bersahabat dengan norma. Untunglah, kini pihak desa turun tangan untuk menertibkannya.

Serasa tidak yakin dengan perubahan anak ini dalam seminggu ini. Gaya bicaranya, kebersihan wajahnya, sampai pada ketaatan mengenakan pakaian bisa dikatakan berubah total. Yah, adalah dia, siswa saya, yang selama hampir tiga tahun ini selalu terkabar kurang baik etika perilakunya. Namun, sungguh luar biasa, seminggu ini telah berubah.

Ingin tahu update statusnya? Simak baik-baik screen shot di bawah ini :

14257504242095440906
14257504242095440906


(update status siswa saya)

14257508221592405541
14257508221592405541

(komentar saya dan balasan dari siswa saya)

Mengapa saya harus memaparkan profil siswa saya ini? Bukankah ini sebuah ketabuan? Jawaban saya adalah : “Saya harus mengabarkan ini kepada semua. Ini bukanlah cela dan hina. Tetapi sebuah keniscayaan perubahan perilaku yang harus diapresiasi dengan baik dan segera. Harus dikabarkan kepada kehidupan ini jika ahlak manusia cukup terbuka untuk kembali kepada fitrahnya. Harus dikabarkan ketika terjadi perubahan yang menggembirakan, tetapi sebisa mungkin ditutupi untuk dibantu diperbaiki jika masih kurang terpuji!”.

Yah, aneh saja jika ada yang malah mengumbar kesalahan masa lalu, kemudian menjust sebagai harga mati dan tertutup untuk baik. Ada pula yang mulai mengkampanyekan jika kasar boleh diterapkan kepada yang salah (termasuk yang masih diduga salah). Bahkan ada yang mati-matian meminta untuk tetap mempertahankan kekasarannya untuk menyelesaikan “borok” yang ada.

Fakta sudah saya beberkan, dari siswa saya. Jika toh masih juga tidak menggema dan menggena, saya bisa memaklumi karena fakta ini hanya dari seorang siswa. Hanya saja harus disadari, kebaikan itu tetap menenangkan hati. Baik itu harus dengan ilmu dan hati. Emosi boleh disertakan, tetapi bukan sebagai hal yang dominan.

Maka, ketika ada yang ramai-ramai dengan keroyokan untukmemuja kekasaran, sejatinya dia sedang “menenggelamkan yang dipuja” untuk ditelan jaman! Sangat prihatin juga saya jika sebagian sesama muslim ikut menyuburkan pembusukan etika dan kejayaan emosi jiwa. Padahal, Nabi tauladan ummat, telah berjibaku sepanjang hayat untuk menyempurnakan ahlak! MasyaAllah...

Catatan :

Alangkah indahnya jika konten tulisan ini tidak dicampuradukkan dengan pembutaan keberpihakan yang semakin gila itu. Nilai etika harus di segala strata masalah bangsa. Etika yang memang menjadi ciri bangsa ini, bukan membumi gaya bangsa lain.

Bisa direnungkan, andai siswa saya itu adalah anak kita, dan kita biarkan tanpa tersentuh belaian pemahaman tentang etika. Akan matilah kita sebagai orang tuanya!

Jadi jelas, nilai keberpihakan itu nomor dua. Begitu juga justifikasi siapa yang benar. Biarlah hukum dan norma yang bicara. Bukan opini pembenaran yang malah menenggelamkan makna inti kebutuhan hati dalam merayapi hidup kita, etika!



Selayaknya jika “anjing dan bajingan” hanya berkelindan saja dalam hati dan bayang. Karena bisa jadi, sedetik lagi ada bisik Tuhan untuk menyapa kebaikan, pada keduanya.



Link terkait :

http://edukasi.kompasiana.com/2015/02/27/etika-bagi-ahok-dan-murid-saya-726751.html

Kertonegoro, 8 Pebruari 2015

Ilustrasi :

SC dari FB : https://www.facebook.com/doni.chicwogbrengsekk?fref=ts

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun