Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Hello, Opini “Angket” Sepi?

27 Februari 2015   06:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:26 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14249666641530956904

Kebenaran? Jangan mempertanyakan itu di menit-menit akhir usia bumi ini. Satu isyu saja bisa menjadi dua dilema. Memperindag jelas menengarai ada mavia beras, dalam hitungan waktu tak begitu lama telah ditepis oleh Wakil Presiden. Apa yang akan kita genggam membaca dua kenyataan yang bias ini? Yang pasti, masalah tidak selesai!

Bagi yang menyimak dan menikmati artikel hebohnya Pepih Nugraha (kang Pepih) tidak lagi menjadi khazanah untuk memperpanjang pendalaman diri menatap fenomena. Terputus pada dua sisi pembenaran yang dirangkul erat-erat oleh yang meyakini. Menjadi ironi atas “kemuliaan arti penulis” ketika hujatan personal maupun intra personal menggerayangi perdebatan nilai yang tersirat dari tulisan itu.

Belum lagi pertikaian pendapat head to head sesama penulis, sesama pengamat, sesama ahli, sesama pembaca. Yang tampak adalah berebut nila dari susu kebermaknaan khazanah, bukan berebut susu untuk menafikan nila-nila.

Agresifnya pertempuran kebenaran ini bukanlah hal yang aneh. Kelaziman kepentingan telah memporak-porandakan dedikasi “membaca”. Tumbal sejarah akan semakin bergelimpangan, karena mata hati telah terpejam sebelum mendulang.Meraba tidak lagi menjadi keharusan. Beban keberpihakan lebih menyeruak dari pada membagi beban. Kematian visilah akhirnya. Kebuntuan solusi lah muaranya. Waktu akan tenggelam dengan sendirinya oleh kesempatan memoles khazanah hikmah keilmuwan.

Hello! Tidaklah heran ketika awam kelas bawah menggelepar menaiki harga-harga, para punggawa negeri berebut mencari salah. Tidak pula heran, berita-berita akan tenggelam bersama semakin temaramnya warna keberpihakan.

Hello! Jadilah opini “angket” sepi tanpa kabar berita, hanya satu dua. Karena imajinasi sedang sibuk melambungkan bidikan untuk mencari celah pembenaran. Padahal, keduanya perlu diselamatkan dari jurang fitnah.

Selamat menimbun diri, terlena dalam keberpihakan...

Kertonegoro, 26 Februari 2015

Ilustrasi : www.jakartasatu.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun