Akhmad Fauzi*
Menjadi guru seyogyanya pilihan final dalam meniti karier. Inspirasi dari pendahulu keprofesiaan ini menyiratkan kekuatan semangat jika profesi ini berlimpah makna kepeduliaan. Lucu saja jika masih terdengar nada-nada minor (justru) dari pelaku profesi ini sendiri. Minor dalam menyalahkan siswa, minor dalam kelu menatap regulasi, minor dalam menatap reward dan punishmen.
Laku profesi ini amat kental dengan keseimbangan lahir batin manusia. Manusia terlahir dalam kondisi fitrah (suci). Gesekan dalam mengatur irama hidup inilah yang memicu tumbuhnya insting untuk belajar. Belajar memahami, belajar keluar, belajar masuk, belajar mengoptimalkan kesempurnaan hidup.
Pilihan profesi ini sulit bagi yang kurang bisa memahami energi yang dikeluarkan dengan imbalan energi yang diterima. Hanya yang menyadari sepenuhnya konsekwensi antara proses polesan dan hasil yang diperolehlah yang akan bisa masuk pada ranah penjiwaan. Suhu dunia yang sebegitu dinamisnya, ditambah derasnya arus ketergantungan pada yang bersifat materi, menggumpalkan beban yang tidak ringan bagi profesi ini untuk ikut berkiprah menselaraskan nilai-nilai manusia.
Bohong belaka jika beban guru hanya di dalam kelas. Kebermaknaan profesi ini terletak pada kesiapan diri untuk menjadi salah satu labuhan hasrat bagi yang ingin dipolesnya. Filosofi kesiapan menjadi dermaga inilah yang menyiratkan asbab “guru harus sempurna”, minimal, menjaga stabilitas diri untuk selalu dalam mindset “ingin sempurna”.
Dua hari yang lalu pengawas sekolah saya melakukan pembinaan rutin bagi guru. Point penting yang saya tangkap dari dia, “Jika ingin sekolah ini disiplin, guru harus melakukan dulu. Disiplin menjadi cikal bakal lembaga ini dijual nantinya”. Yups, nilai jual yang menjanjikan dengan segala hitungan nantinya.
Jelas, nilai jual adalah titik akhir, titik awalnya adalah disiplin. Uniknya, disiplin itu harus dimulai dari guru, dari pemoles itu sendiri. Kata kunci dari ini adalah guru dan disiplin, ruhnya pada niat. Niat berada dalam kesemangatan jika dilandasi atas dasar kesadaran hasil yang di dapat. Hasil yang di dapat bisa berupa angka-angka bisa pula berwujud pada limpahan abstrak suatu hikmah. Memahami hal ini butuh keyakinan, keyakinan butuh kepastian dasar untuk menguatkan. Menguatkan keyakinan itu harus dengan piranti hati dan pikir.
Artinya, siswa menjadi puncak bidikan, tetapi jangan pernah membidik siswa selama kita, pendidik, melepas ihtiar untuk berbuat dahulu. Jauh di balik ucapan guru itu bukan nilai bernasnya ucapan yang merasuk dalam sumsum bathin siswa tetapi liukan keikutsertaan hati yang konsisten yang memastikan ucapan itu terngiang selamanya.
Guru adalah transformer, agen perubahan, penggali potensi yang terpendam. Maka, akan gersang jika siswa dipoles oleh mereka yang “gersang” juga. Akan berputar-putar dalam kontradiksi diri jika tidak berasal dari “yang berbuat”. Dan bahaynya adalah akan menjadi tipologi pemoles, apapun wajah pemolesnya itu.
Sementara peradaban harus segaris dengan peningkatan nilai. Pergerakan sejarah manusia harus pararel dengan bidikan hati. Hati ramah dengan ketinggian nilai, nilai bisa disentuh dengan menguatkan etika, pola diri. Bagi yang telah memilih guru sebagai profesi, lakukan niat awal untu memperbaiki diri.
Niat awal menjadi kunci langkah selanjutnya. Ketidak konsisten selanjutnya itu hanyalah kerikil yang akan segera tersadari dengan sendirinya. Muara akhirnya adalah ketinggian nilai jual diri yang akan menjadi sebab tingginya nilai jual yang dipoles dan lembaga tempat memoles. Tetapi ingat, proses ini butuh keaslian, maka lakukan dengan keaslian yang dipunya.
Quote : Etika, bagian yang tak terpisahkan dengan profesi ini, ada nilai ganda dari makna itu. Untuk diri sendiri juga untuk yang di luar diri. Ini bukan mimpi, karena insting manusia ingin selalu disapa, dan berharap yang menyapa adalah yang beretika!
Salam pendidikan!
Kertonegoro, 22 Januari 2015
Ilustrasi : lensaindonesia.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI