Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gatot Brajamusti, Sebuah Paradigma

3 September 2016   22:20 Diperbarui: 3 September 2016   22:42 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika saya berasumsi, menarik garis antara kebutuhan popularitas dengan budaya instan, kemudian bertemu dengan pola jaringan narkoba, apakah dianggap terlalu berlebihan. Saya tidak punya bukti empiris atas asumsi itu. Rilis kepolisian, pengakuan para selebritis terhadap sosok Gatot B. ini, termasuk gejala-gejala sosial yang ada, memberanikan saya untuk berasumsi demikian.

Dulu, bahkan sampai sekarang, ada istilah mafia benda-benda ghoib. Barang-barang semisal merah delima, keris, kitab stambul dan lain-lain, menjadi isyu barang yang di buru. Ujung-ujungnya adalah untuk mendatangkan uang. Kaum "kepepet" yang banyak terbuai dalam hal ini. 

Antorium pernah booming. Saya pernah merasakan nilai harga dari booming itu walau hanya sebentar. Tokek, dan akik, tak luput dari keterkejutan harga di ranah publik. Di televisi, pernah dikabarkan, jika ingin menjadi artis siapkan ratusan juta sampai bermilyar rupiah untuk posisi keartisan yang di pinta. 

Sepertinya, Gatot Brajamusti memadukan pola-pola di atas dengan balutan yang lebih keren, yaitu, ritual religi dan kemudahan peluang pangsa pasar barang-barang narkoba.

Reza adalah korban, begitu berita yang muncul. Dalam berita lain, ditengarai Gatot memanfaatkan prosesi ritual untuk memasarkan "dagangannya". Dalam acara televisi, ada artis yang belajar mengaji, mengaku pipinya sering disentuh (kalau tidak boleh disebut dibelai). Berita-berita semacam ini berserakan di media. Rilis resmi kepolisian memastikan jika Gatot Brajamusti tertangkap karena kepemilikan narkoba. Diduga, ini adalah salah satu mata rantai pengedaran barang haram yang paling terbaru polanya.

Sangat serius jika uraian di atas mendekati kebenaran. Artinya, hidup dan proses hidup di negeri ini berada dalam kelabilan standar. Baik standar hukum atas barang-barang narkoba. Standar atas norma dan keberpihakan pada keyakinan yang dipunya. Termasuk standar dalam menilai sebuah hasil. Efek dari semua standar itu adalah meremehkan standar proses. 

Gaya hidup berkecukupan, hasrat ingin populer, mempercepat hasil, bersiasat atas segala langkah, sampai pada menjadikan kemungkaran yang dibungkus wibawa kehebatan, merangsek dengan mudahnya kini.

Gatot Brajamusti adalah sebuah paradigma, yang tidak bisa dianggap remeh hanya sebatas penyalah-gunaan narkoba. Dalam membaca peristiwa ini, sendi-sendi sosial budaya di masyarakat sebegitu ringannya di pola dan dibungkus dengan hal-hal yang bernilai tinggi. 

Kalangan artis adalah manusia kelas atas. Menjadi sebab kita untuk ketakutan akan keberlangsungan nilai-nilai sebuah tatanan dan budaya. Betapa semakin rentannya jika ini menjamah kalangan bawah.

Pemerintah, pejabat, tokoh-tokoh agama dan masyarakat tidak boleh cuci tangan dengan paradigma ini. Pengakuan Fredy Budiman, bertontonnya timbunan narkoba yang sedang mengancam negeri ini, perilaku anarkhi (baik oleh akar rumput maupun aparat), Getolnya sebagian arus yang ingin menjauhkan agama dan nilai-nilai dari pemeluknya, semakin tampak bukanlah sebuah kondisi yang berdiri sendiri-sendiri. Bukan pula sebuah kebetulan, atau hanya perilaku oknum per oknum. 

Membiarkan paradigma-paradigma tersebut sama halnya dengan memberi kesempatan "mereka" untuk leluasa bermain di sini, di  Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun