Lihat episode sebelumnya di :
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/03/11/mengantung-di-tepi-angan-637774.html
"Mas, dipanggil Bos. Sabar saja, lagi uring-uringan...", bisik temanku rada gemetar.
"Busyeeet! Ada apa lagi ini!", pekikku dalam hati. Ini baru awal bulan, toh laporan perusahaan bulan kemarin meraup untung yang tidak sedikit. "Makasih Ar, sebentar ya, nanggung, tinggal sedikit...", balasku ke Ardy sedikit kecut.
Akhir pekan di awal bulan yang benar-benar menyesakkan. Belum hilang lelahnya lembur membuat laporan, kini harus menghadapi bos yang lagi uring-uringan. Wajah kebapakan yang sangat tidak diharapkan ada kemarahan di sana. Lelaki yang sudah mendekati senja, badan yang subur, perut buncit tambun. Sosok yang ideal untuk meraup pundi-pundi keuntungan bagi perusahaan keluarga ini. Anehnya, tidak biasanya di awal bulan wajah masam menghiasi hari-harinya. Ah, mungkin Ardy saja yang salah melihat wajah itu!
Kembali aku lirik meja di seberang arah, di sebelah depan kanan, kosong. Kemana dia..., tumben belum kelihatan. Jam segini biasanya aku sudah bisa menikmati uraian rambut yang kadang kala menutup separuh wajahnya. Indah sekali, apalagi menikmati cara lembut dia menyibakkan rambut yang menutupi wajah putih itu. terasa sekali nuansa keibuannya.
"Met..., Meta, sini...", ucapku lirih dengan isyarat kepala memanggil salah satu staf yang persis duduk di depan mejakerjaku.
"Iya Bang, gimana...?", ucap Meta lirih berbisik mendekat, seakan tahu kalau panggilanku sedikit berbau rahasia.
"Tumben, sudah mendekati siang, teman manismu belum kelihatan. Sakit ya...?".
Terkejut juga Meta, menengok ke belakang. "Ngga tahu Bang...!".
"Syuuuttt...! Jangan keras-keras!", sergahku membisik sembari mendekatkan wajahku ke dia yang minta ampun manjanya ini agar jangan keras-keras bicara.
"Iya, ya..., Entahlah lang Bang, mulai kemarin sore sulit dihubungi. Malah kemarin pulangnya Meta ditinggal duluan..., kale aja lagi sebel hati!!!", terasa ketusnya.
"Ehhh...., kamu tahu ngga maksud ku?", kataku lagi sedikit melotot.
"Iya lah Bang, tapi kan wajar juga Meta punya kesel ke dia, masak dia saja yang berhak kesel", jawab Meta terasa semakin ketus.
"Iya lah, semua punya hak lah Met, terus...", timpalku cepat sembari memukul pelan jidat gadis manja ini.
"Iya, tunggu lima menit lagi infonya...", tetap cemberut terus ngeloyor kembali ke meja kerjanya. "Sueeerrrr.....", terusnya tanpa suara hanya terasa gerakan imut bibir manjanya saja.
Aku acungi jempol ke dia dengan senyum terima kasih. Ah, Meta, gadis yang sudah hampir setahun ini menjadi partner kerja yang cukup membantu beban-beban tugasku. Putih, imut, centil, lincahnya luar biasa. Aku lihat situasi ruang, syukurlah tak berpengaruh dengan dialogku tadi.
"Mas, lupa ya....!".
Terkejut aku mendengar suara yang tidak jauh dari wajah ini. Ya ampun, iya. Aku buka mata, Tuhan....!!!
"sudah berapa lama kamu di sini Ar, maaf aku kelelahan, iya..., bos masih di dalam kan...?", cerocosku menutupi kebingungan ini. Aku tatap Ardi yang sudah di depanku, untunglah masih ada senyum di dia. "Makasih Ar, aku ke sana sekarang..., maaf ya", ucapku lagi masih berusaha mengendalikan suasana, sementara Ardy hanya senyum berdiri tanpa beban sedikitpun.
Berat rasanya untuk melangkah menuju pintu ruang itu. Bayangan geram lebih mendominasi pikir daripada tema yang akan didiskusikan nantinya. Mana lagi hati lagi kacau seperti ini. Semoga saja Bos tidak melihat ini. semoga lebih memikirkan nilai rupiah yang telah mengekangnya. Berharap besar bos tidak dalam gelisah karena aku, tetapi gelisah karena ada sesuatu dalam perusahaannya. Kalau itu masalahnya, kecil bagi ku. Untuk masalah strategi, bos tahu aku jagonya. Dan aku tahu aku bisa dijagokannya.
Pintu besar ini terbuka, aku paksa sepelan mungkin, setelah sebelumnya ada suara "Silakan masuk Jang..." dari dalam. Setelah memberi hormat sekadarnya, aku dekati meja besar berukiran Jepara asli. Pas sekali dengan sosok yang ada di balik meja itu, semakin menambah aurora wibawa pada dia dan ruangan luas ini.
"Bapak memanggil saya kan...?", ucapku dengan penuh hormat, berdiri persis di depan bos di seberang meja seukuran separuh lapangan tenis meja ini.
"Iya, duduklah....", suara khas beliau terdengar berat dan wibawa. "Duduklah...!?", tawar lelaki besar itu seakan tahu betapa ragunya saya untuk meletakkan diri ini di kursi yang selaras dengan gaji satu bulan.
"Iya, Bapak, terima kasih....", ucapku lagi dengan sedikit menata irama suara.
Ia letakkan bolpoint, kemudian menyodorkan beberapa lembar kertas yang tadi beliau corat-coret. Senyum aku tampkkan meski takut lebih mendominasi hati. Aku amati lembaran itu. Ya Tuhan...!
"Boleh saya bertanya, Pak?", kataku mengawali kembali perbincangan yang entah berapa menit terdiam karena fokusku menyimak lembar demi lembar kertas itu.
"Boleh, ya saya tahu, maaf saja kamu tidak saya libatkan untuk membicarakan surat keputusan itu, Jang", terasa datar tetapi cukup menggelisahkan.
"Itulah Bapak yang ingin saya tanyakan...", timpalku dengan sedikit berani menatap beliau walau nyali sama sekali tidak ingin mengajak untuk mendebat.
"Iya, atur saja konsekwensi kelanjutan dari surat itu, aku tunggu dua tiga hari laporan dari kelanjutan surat keputusan itu ya", tetap terasa datar sangat mengandung makna tidak berhasrat untuk mendiskusikan konten surat yang aku pegang ini.
"Tetapi ini berimbas pada psikologi teman-teman yang lain kan, Bapak?", aku beranikan sekali lagi menatapnya, entahlah, apa yang membuatku sedikit berani.
"Yang penting saya dan perusahaan masih melihat engkau yang terbaik. Itu saja. Segera tindaklanjuti, Jang, aku tahu kamu cukup piawai dalam hal ini.Jangan lupa hasil tindaklanjutnya tiga hari ke depan. Ok, cukup ya, aku harus menjemput rekanan di bandara",ucap bosku mantab, tanpa tersisa ada beban sedikitpun di kata-kata itu.
-----)***(-----
Maafkan aku Die, inikah yang membuatmu tidak kelihatan sampai siang ini. Makan siang kurang 30 menit lagi, biasanyacukup gairah di waktu-waktu ini karena aku pasti bisa menatapmu dengan segala rupa derai tawa dan kerenyahan canda di kantin itu.
Di mana kamu, rekan karibmu, Meta, staf ku sudah lima kali menghubungimu tanpa sedikitpun ada sinyal untuk menemukan kamu. Malah aku sekarang memegang lembaran kertas ini. Kalau toh engkau telah tahu surat ini mengapa seberaninya tidak menghungi aku. Sebegitukah kehambaran yang harus terjadi di lingkaran rasa kita, Die. Yang aku tahu kamu masih marah karena perkara sepele itu. Tetapi mengapa harus ada keputusan perusahaan ini?
Menggantung logikaku di awan tanpa batas, melihat jalan untuk menembus fokus pikirpun sulit aku temukan. Jika memang ini adalah puncak dari kemarahanmu, berarti tidak sesedehana itu masalah yang sedang kita hadapi. Teganya engkau Die, yang harus membiarkan ini dalam atmosfir ketidakpastian.
Lupakah sudah, betapa susah payahnya kita menanggalkan persepsi dan kepentingan diri untuk merajut cinta kita. Itusepertinya masih baru kemarin sayang. Bagaiamana aku nikmati pelukan mu dari belakang saat kita menyanyikan lagu kebesaran kita caffe itu. Engkau lingkarkan tanganmu di leher dengan mesra sementara wajahmu persis di sisi kiriku sembari menatap lentik jemari ini menekan tuts-tuts keyboard itu. Menjadi gairah diri untuk menendangkan senandung cinta di tengah padunya rasa kita.
Masih terasa hembusan angin dari kata-kata yang engkau bisikkan, "Mas, aku menerimamu karena cinta, ihlas menerima rasa ini....". Kalimat itu masih ada di batin ini, sayang, aku simpan tanpa memikirkan batas waktu dan keadaan. Aku menganggap engkaupun demikian.
"Bang, bangun yuk, waktunya makan siang..., Meta traktir ya?", suara yang membuyarkan terlenaku di meja kerja ini.
Tidak ada gairah lagi untuk menjawab ajakan Meta, gadis lincah, rekan kerja ini. Derai tawa sambil sesekali mendiskusikan problem kerja seakan hilang dari hidup ini.
"Bang, Meta boleh donk tahu kenapa Abang seperti ini. Meta siap kok bersaksi di depan bos jika Abang didholimi dia. Meta lho tahu bagaimana kerja Abang. Ayo donk Bang, bagi-bagi dengan meta ya...".
Seharusnya manis sekali kata-kata rekan kerja ku ini yang sudahaku anggap sepeti adik sendiri. Menjawab maupun tidak sama saja maknanya. Menjawab berarti dia kan terlibat dalam pergulatan ini, tidak menjawab akan menjadi persepsi duga yang kurang baik bagi hubungan kerja aku dan Meta. Menjawab berakibat pada pemaksaan dia untuk ikut masuk dalam kebingunan ini. Kebingunan yang telah merambah sejauh rasa dan kepentingan yang ada. Tidak menjawab, akan menjadi sebab Meta membenci siapa saja. Karena aku tahu Meta begitu hebatnya pembelaannya ke aku dalam hal apapun. Tidak perduli siapa dia, selama menyangkut kebingungan ku, Meta selalu ambil bagian menyelesaikannya. Ah... lincah sekali gadis kecil ini.
"Met, kali ini Abang absen di kantin ya, mau meneruskan kerja yang tadi diberikan bos ke saya. Meta ke kantin sendirian ya, salam saja ke mbak Ijah...", ujarku tak bergairah, lirih, meletakkan pipi di atas meja.
"Yahhh, Abang, Meta juga ngga gairah lah Bang ke kantin...".
"Iya Met, maaf ya...".
"Meta janji kok Bang, pulang kerja Meta akan ke kos Silvi, atau akan meta cari sampai ketemu. Meta janji, Senin depan ia akan masuk kerja lagi. Biar Meta kabarkan kalau Abong mati rasa ngga melihat Silvi hari ini...".
"Janganlah Met, biar dia ngga masuk hari ini. Mungkin memang ada kepereluan, lagian bukan dia kok yang menyebabkan Abang kurang gairah hari ini, mungkin saja kecapekan....", jawabku sambil menatap lembut Meta, agar tahu kalau aku ingin Meta tidak mengabarkan kondisiku ini ke dia, Silvi, gadis yang sedang dalam lingkaran kebingunan diri ini.
"Abang masih sadar kan...?", sergah Meta lagi tanpa beban tetap terasa lincah.
"Iya lah, Meta sudah jadi bagian keluarga Abang kok, kalau ada yang sulit pasti Abang bagi, ya...", jawabku selembut mungkin, untuk mengaburkan apa yang sebenarnya ada.
Terasa lengan halus kecil itu menempel di dahiku, lembut dan meneduhkan. "Meta merasa begitu juga Bang, Abang adalah guru terbaik Meta, Kakak, bahkan jadi inspirasi Meta...! Yang tenang yang Bang, Meta doain Abang gairah lagi....".
Sejenak kemudian terdengar langkah kaki menjauh dari ku. Semoga Meta bisa menyadari kelesuanku ini. Sementara mata sulit terbuka, memaksa angan melanglang seluas-luasnya. Mencari, menduga, dan mencoba merasakan apa yang sedang dirasakan Silvi, gadis tercintaku, di sana.
Ku coba ungkap tabir ini
Kisah antara kau dan aku
Terpisahkan oleh ruang dan waktu
Menyudutkanmu meninggalkanku
Ku merasa tlah kehilangan
Cintamu yang tlah lama hilang
Kau pergi jauh karena salahku
Yang tak pernah menganggap kamu ada
............................
("kehilangan" ST-12)
Masih terasa bagaimana engkau mengekspresikan lagu itu dalam lingkaran tanganmu. Kini, biarkan aku memaknainya dalam kelesuan ini.Jangan berharap aku berharap kehilangan kita. Terlalu dalam cinta ini menghujam batin, Die. Nyatakan dalam sangkamu jika itu juga terasa di dalam rasa hati.
Kini, aku merindukan lagi menyanyikannya... lengkap dengan ekspresi jiwa yang engkau punya. Sungguh, aku kehilangan, Die...
................. (bersambung)
Kertonegoro, 16 Maret 2014
Ilusreasi daruma-jeje.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H