Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bijaksana Dalam Menyikapi "Bara" Pemilu

24 Maret 2014   05:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:34 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13955895951027630136

Bijaksana itu enak : mudah memberikan jalan keluar, selalu mengambil dasar dan alasan yang tepat, tidak terburu-buru, berwawasan, ikut meraskan melihat orang sakit, dan tidak akan membalas kesakitannya. Memutuskan setelah semua data lengkap, menyelesaikan tanpa ada yang dikalahkan. Definisi ini bersumber dari mana? Perangkuman (meskipun tidak menyeluruh) dari definisi bijaksana yang ada -plus- yang ada di nalar saya.

Terkabar sudah puluhan pelaku ditangkap kepolisian Aceh berkaitan dengan ekses pemilu tahun ini. Semua berharap cukup itu saja yang tertangkap, selanjutnya, semua bisa tenang dan bisa menikmati pesta demokrasi ini dengan leluasa. Apakah bisa? Mustahil memang, karena sejarah membuktikan ekses Pemilu setiap lima tahunan selalu dalam ketegangan. Tidak saja bentrok fisik, justru yang lebih dahsyat adalah bentrok psikis.

Psikis lebih berbahaya dibanding fisik. Luka psikis menjadi sebab bersemayamnya sakit selama umur yang ada. Bentuknya beragam, ada yang sebatas stres, mungkin juga depresi berat sehingga mendekati gila, dan (ini yang memprihatinkan) sakit hati dan kebencian.

Sebagian pengamat sosial menganggap fenomena itu adalah hal yang biasa, karena kita masih dalam taraf transisional peradaban. Kurangnya kelas menengah dan bejibunnya masyarakat bawah menjadi picu utama rendahnya kedewasaan masyarakat dalam melihat makna pemilu ini. Sehingga pemilu seakan menjadi satu-satunya pintu masuk untuk melakukan perubahan. Sehingga pula, nilai sebuah rezim sangat berharga di setiap masa berkuasa. Berharga untuk dinikmati, berharga untuk dijadikan pondasi pengakaran rezim, berharga untuk membalikkan rezim sebelumnya.

Memangkas logika berpikir semacam ini masih butuh waktu. Prediksi saya, tahun inipun tetap hanya akan menjadi momen perebutan rezim itu. Alasannya, konteks subtantifkonsep pemikiran lengkap dengan kejelasan arah pemecahan masalah masih menjadi "barang yang sunyi" di pemilu ini. Malah gaya pencerahan tokoh yang diusung sekaligus juga menterkaitkannya dengan beban-beban masa lalu seakan menjadi lubang cahaya untuk menghirup energi potensi kemenangan di pihak yang dibela, menjadi ikon wacana. "Bukankah ini lagu lama? Bahkan mungkin lama sekali...!".

Pemilu tahun ini memang menjadi penentu bagi peralihan kekuasaan. Sinyal peralihan itu semakin menguat setelah penguasa sebelumnya masih mencatat kejanggalan-kejanggalan (bisa dimaknai juga kegagalan-kegagalan) dalam memanfaatkan masa berkuasanya itu. Apalagi dengan tidak adanya penerus rezim yang sekaliber SBY. Klop sudah, semua merasa memiliki harapan yang penuh untuk bisa mengganti rezim sekarang.

Momen emas peralihan inilah yang menyebabkan wajah pemilu tahun ini benar-benar ceria di mata mereka yang selama ini mengincar kekuasaan. Maka muncullah analisis-analisis, baik berdasar survey maupun berdasar terawangan kasat mata. Semakin hiruk pikuk karena masing-masing memiliki amunisi untuk meletupkan isyu yang dianggapnya bisa bermanfaat bagi kelompoknya. Kalau sudah demikian, bisakah dijamin peralihan kekuasaan tahun ini (pemilu) akan menghasilkan sosok yang bijaksana? Semoga saja masih bisa, asal semua tokoh yang diusung tidak terpancing oleh gemuruhnya suara yang ada.

Tetapi, apa ya masih berlaku bijaksana ini dalam konstelasi yang sudah mulai berpeluh ini. Sementara tekanan emosi semakin meninggi. Emosi karena merasa dikhianati, emosi karena sakit hati, emosi karena ingkar janji, emosi karena tidak segolongan, emosi karena sudah banyak yang dikeluarkan, sampai pada emosi karena emosi juga! Wajar saja jika wajah emosi kini sulit dilihat di keseharian masyarakat, karena semua emosi sudah terborong habis oleh pelaku-pelaku euphoria. Atau, emosi masyarakat memang sudah habis duluan? (catatan : Tingkat emosional masyarakat terasa sudah menurun untuk terlibat, justru yang intens terlibat adalah mereka yang berstatus kelas menengah -dari hasil pengamatan sendiri)

Ah, kasihan masyarakat, ketika waktunya harus kelelahan dengan emosinya selama lima tahun ini, sekarang malah dipaksa untuk melihat wajah-wajah emosi. Paling-paling juga akan menjadi lagu lama, ketika pemilu ini berkahir, pelaku euphoria emosi saat ini akan kembali memancing emosi masyarakat dengan ulah-ulahnya lagi. Paling-paling juga masyarakat akan diam dalam emosinya menunggu lima tahun lagi untuk berganti melihat wajah-wajah emosi lagi!

Maka bijaksanalah dalam melihatpemilu ini, agar emosi tidak berbalas emosi.

Karena ini hanya berebut kursi, yang (bisa jadi) nanti menjadi picu emosi lagi!

Semoga tidaklah demikian, asal rakyat tidak menjadi tumbal

Sebagai pengumpul suara-suara bebal

Seakan aspirasi mereka seperti sendal

Bijaksanalah

.......

Agar tidak menjadi begundal!

Kertonegoro, 23 Maret 2014

Ilustrasi shiroi-kiba.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun