Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Anjing Dan Kucing, Tikus Sang Jawara

15 November 2015   15:25 Diperbarui: 15 November 2015   15:49 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

(cerita mini)

 

"Mang, stadion meledak!".
"Iya, tahu...".
"Ratusan orang menjadi korban".
"Menyusul ribuan yang telah dahulu".
"Dan akan disusul lainnya...".
"Pasti!".

Lengang. Salah satu dari keduanya menggeser tempat duduknya, mendekat.

"Tumben, responnya dingin. Emang lagi ngga mood...?".
"Memang harus dipikir?".
"Iya lah, minimal empati...".
"Sudah sejak dulu. Lelah".
"Ya ndak boleh lelah, lah Mang. Ini tentang kemanusiaan?!".
"Waoow, kita mesti peduli tentang kemanusiaan? Ngigau loh!!!".
"Lho, kok gitu? Sih...".

Yang dipanggil si Mang rad menjauh, membenahi duduknya. Menatap halimun pagi yang menggantung di langit lepas. Lengang kembali.

"Kamu masih ingat, berapa bangsamu yang menggelepar, saat itu".

Pertanyaan si Mang dengan nada seperti tidak butuh jawaban. Yang ditanya hanya terdiam, menatap si Mang yang terus mendongakkan wajah menatap langit.

Langit mulai terisi gumpalan awan memerah.

"Ada puluhan cacat permanen. Sebagiannya ikut aku, kini". Lanjut si Mang, nada suara semakin berat. Apalagi wajah seram itu mengalihkan tetapnya kepada lawan bicara.

Yang di tatap hanya mengangguk saja, berkali-kali.

"Tetapi mana suara mereka! Empatipun tak akan mungkin ada. Malah terus menyisir korban-korban atas nama bahasa mereka sendiri". Semakin melirih suara Si Mang, seiring degup dada yang mengencang. Menetes air mata.

"Aku kehilangan hampir separuh keluargaku, Mang. Saat kejadian itu", sahutan lirih, sembari mendekat berhasrat ingin memeluk si Mang.

"Aku bukan menangis karena kejadian itu. Juga bukan untuk yang baru saja terjadi...".

"Mamang menangis untuk siapa?", gusar si Megol, penasaran.

Mamang hanya terdiam, membiarkan si Megol menyentuh pundaknya. Ia pegang tangan halus itu untuk dijabatnya. Ia remas dengan penuh kasih sayang. Tangis keduanya, tak terelakkan.

"Aku tidak percaya dengan rasa kemanusiaan..."
"Maksud Mamang, rasa itu, sudah hilang?"
"Sudah, hilang!".
"Hanya karena seringnya terjadi teror-teror...?" pekik Megol keheranan.

Mamang tatap wajah Megol bulat-bulat, seakan ingin menerkam wajah imut itu. Megol membalas tatap itu, berharap keluar alasan atas ucapan si Mamang."

"Korban-korban berjatuhan setiap waktu, Gol! Mereka bukan manusia! Kalaupun mereka dianggap sebangsa kita, aku tidak mau?!".

Berguncang keduanya, dalam tatap amarah, gelisah dan tangis meluka. Lantai yang biasanya menjadi arena bermain bersama kala sang majikan merindukan keduanya, basah oleh air mata. Air mata si Mamang dan si Megol, dua sahabat sejati sejak keduanya dipelihara sebagai piaraan manusia.

Guntur menggelegar, menjadikan keduanya terpelanting.

Sementara jauh di bawah tanah, ingar bingar pesta tikus semakin menggila. Berbikini ria, melenggak dansa mengumbar syahwat cinta. Saling memburu halusinasi aroma narkoba.

Di sudut ruang, tikus besar sang ketua, ditemani dekapan gadis-gadis manja, terkekeh-kekeh di atas sofa lembutnya. Menyimak dengan nikmatnya kesyahduan bahasa cinta si Mamang dan si Megol, lewat monitor ajaibnya.

-tamat-

 

Kertonegoro, 15 Nopember 2015
Salam,

 

Akhmad Fauzi

 

Gambar si Megol: arsip pribadi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun