Saya pernah melakukan survey sederhana. Saya ambil sampel acak tetapi tertuju (porposif sampling). Bukan angket yang saya sebarkan, tetapi berupa pertanyaan lisan yang dijawab langsung oleh siswa. Hasilnya adalah :
- sembilan anak suka membaca, duapuluh anak kadang-kadang membaca, empat anak tidak suka membaca,
- sembilan belas anak malas untuk membaca, lima anak rajin membaca, sebelas anak menjawab tidak tahu,
- tiga anak termotivasi membaca untuk menambah ilmu, sisanya karena iseng belaka.
Yang unik dari survey saya ini adalah :
- hanya tiga orang tua/wali murid yang suka membaca, sepuluh orang tua kadang-kadang  membaca, duapuluh satu orang tua tidak pernah membaca,
- satu orang tua selalu membaca koran, dua orang tua membaca brosur-brosur pertanian, sisanya tidak tahu apa yang dibaca orang tua,
- lima anak pernah menuntaskan membaca 3-5 buku selama hidupnya. Tujuh anak menuntaskan di bawah tiga buku, sisanya tidak pernah membaca buku sampai tuntas.
Sangat memprihatinkan kondisi yang tergambar dalam survey saya di atas. Andaikan kita menganggap jawaban siswa itu benar adanya serta kita anggap pula responden yang ada bisa mewakili keseluruhan siswa di SMP saya (atau bahkan di sekolah se-Indonesia), maka saatnyalah harus diberlakukan darurat semangat membaca. Bukan saja untuk siswa tetapi orang tua pun juga harus menjadi sasaran untuk diberi semangat dan motivasi membaca. Karena terbukti, kerapuhan semangat membaca siswa ini korelatif dengan kondisi semangat membaca orang tua.
2. Rendahnya motivasi membaca
 Banyak suara-suara sumbang yang bernuansa saling menyalahkan berkaitan dengan realita rendahnya gemar membaca di negeri ini. Masyarakat menyalahkan sekolah dan pemerintah karena harga beli buku dan bahan-bahan bacaan dianggap mahal. Guru dan sekolah melihat adanya ketidak-singkronan antara upaya yang telah dilakukan di sekolah dengan pengawasan di rumah. Dalam hal ini, seharusnya pemerintah berada dalam posisi sebagai pihak yang bisa menyelesaian kendala-kendala tersebut.
Pemerintah sebenarnya sudah berupaya dengan keras untuk melakukan pemenuhan fasilitas-fasilitas taman bacaan bagi warganya. Pembangunan gedung-gedung perpustakaan, pendirian taman-taman bacaan, pengadaan perpustakaan keliling, sampai pada pengadaan buku murah bahkan buku pegangan siswa gratis telah diupayakan oleh negara.Â
Tetapi apa lacur, upaya pemerintah itu justru terbaca berbanding balik dengan animo masyarakat. Fasilitas-fasilitas yang telah dibangun itu belum juga merangsang siswa dan masyarakat untuk gemar membaca, apalagi menulis.
Maka tidak heran jika dalam pemeringkatan literasi internasional di atas, Indonesia justru hebat dari sisi pembangunan dan pengembangan fasilitas dan pengadaan sarana membaca. Bahkan peringkat Indonesia untuk pengadaan fasilitas ini berada pada urutan ke-42, jauh mengungguli Korea Utara, Singapura, Belanda, dan negara-negara maju lainnya.Â
Apa artinya? Artinya adalah, gedung-gedung dan fasilitas yang cukup memadai itu kurang ada yang memanfaatkan. Perpustakaan sepi pengunjung, taman bacaan sepi peminat, yang kemudian berefek pada lesunya minat menulis dan berakhir pada buramnya dunia literasi. Artinya pula, gambaran motivasi akan pentingnya membaca masih terlihat rendah di kalangan masyarakat Indonesia.
3. Upaya pemerintah memotivasi warga  untuk gemar membaca dan menulis
 April 2016, Kemendikbud memberikan angin segar untuk para penulis. Angin segar itu adalah berupa memberi semacam beasiswa kepada para penulis yang gemar menelorkan karya-karyanya. "Kami memberi fasilatas supaya mereka semakin berkarya", kata Mendikbud, Anies Baswedan saat itu, kepada media.