Akhmad Fauzi *)
Tahun 2016, Mendikbud, Anies Baswedan meluncurkan gerakan Jember Membaca dalam rangka menyambut Gerakan Indonesia Membaca (19/12/2015), Selang empat bulan kemudian tersiar kabar duka jika Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara dari sisi kemampuan membaca dan menulis. Kabar tersebut berdasarkan dari pemeringkatan literasi internasional yang dilakukan oleh Most Literate Nations in the World, yang diterbitkan Central Connecticut State University, Maret 2016.Â
Benar-benar sebuah prestasi yang cukup memprihatinkan disaat bangsa ini sedang bergairah untuk melakukan reformasi dalam segala bidang. Akankah hal ini menjadi indikasi jika pencanangan Jember Membaca tidak dapat direalisasi dengan baik. Atau, justru Gerakan Indonesia Membaca lah yang tidak tersambut dengan baik?
Sedikit saya ingin mengulas kondisi daerah saya berkaitan dengan dunia literasi. Sebagaimana kita ketahui, di tahun 2012, Jember merupakan kabupaten yang memiliki angka buta aksara tertinggi di Indonesia. Data per-2012 menunjukkan ada 167 ribu warga Jember yang masih buta aksara. Propinsi yang terbesar buta aksaranya adalah Jawa Timur, yaitu sebanyak 1,4 Juta jiwa.Â
Untuk secara keseluruhan, angka buta aksara di Indonesia ada 3,4 persen dari penduduk yanga ada. Mereka tersebar di 25 kabupaten yang tersebar di enam provinsi. 3,4 persen itu ternyata jumlahnya setara dengan 5,98 juta jiwa. Sungguh sebuah angka yang cukup fantastis, karena melebihi jumlah penduduk Singapura (nasional.tempo.co dan sumber media lainnya, 2012).
Kalau merujuk pada pola gerakan Jember Membaca, dalam empat bulan dari perjalanan kegiatan tersebut seharusnya sudah bisa menampakkan hasil yang memuaskan. Apalagi entasan buta aksara di Jember Membaca ini menggunakan pola gugur gunung. Yaitu pola pendataan door to door yang kemudian dari data yang diperoleh dilakukan pelayanan upaya pengentasan buta aksara dengan melibatkan semua pihak. Mulai dari aparat TNI, birokrasi sampai dengan tokoh-tokoh pemuda dan tokoh-tokoh masyarakat.
Sepintas sinergitas yang tergambar dalam pola di atas seharusnya memberikan keyakinan akan tuntasnya gerakan Jember Membaca ini. Publikasi terkini dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jember mencatat masih ada 0,44 persen usia pendidikan 7-24 tahun belum pernah merasakan pendidikan sama sekali.Â
Di sisi lain, angka penduduk yang tak lagi sekolah juga tinggi, mencapai 30 persen dari kelompok usia tersebut. "Kalau dilihat dari usia sekolah 7-24 tahun, penduduk tak pernah sekolah terbilang kecil. Tapi jika dilihat dari lima tahun ke atas, jumlahnya jauh berbeda, yaitu 12,27 persen," tutur Kepala BPS Jember Arif Joko Sutejo (radarjember.id 11 Pebruari 2020).
Memang, tidak ada keterkaitan yang signifikan antara buta aksara dengan minat membaca dan menulis. Keduanya memiliki ranah yang berbeda. Tetapi merefleksi fakta masih besarnya buta aksara di negeri ini dengan fakta lemahnya minat baca tulis akan memberikan kesempurnaan dalam menganalisis sebab.
1. Data dari survey siswa saya