Jalan Kertanegara beberapa hari lalu menjadi fokus lensa kamera media. Nggak dini hari, ngga pagi-pagi buta, hampir 2x24 jam menjadi sorotan bliz kamera kuli tinta.
Rumah yang menyerupai istana, berkumpulnya para dedengkot jawara negeri. Dan, akhirnya memang menelorkan CALON jawara DKI.
Mungkin ini pula yang menjadi sebab tahun 2014 awal saya dikejar-kejar sesuatu. Pasalnya, sekali waktu diundang untuk hadir dalam diskusi kebangsaan. Akomodasi ditanggung. Tempat hotel bintang lima, di Jakarta pula.
Kali lain, saya dipinang empat kelompok. Untuk (katanya) dijadikan barisan opinions dalam perhelatan 2014 kemarin.Â
Akhir cerita, saya tidak bisa memenuhi semua itu. Disamping saya PNS, waktu tidak memungkinkan (karena ada yang meminta untuk TOT limabelas hari dalam waktu dua bulan), -pun- saya ingin menjadi "yang bebas" saja. Bebas memuji sana sini (jika memang harus dipuji), bebas "menampar" siapa saja jika sampai berani-beraninya bermain-main dengan agama, nusa dan bangsa saya.Â
Weeehhh...hehehe
Tentu saya harus mengatakan (ketika ada yang mempertanyakan), saya bukan Kertanegara Jakarta, bukan pula bagian kubu sana atau sini atau situ, apalagi sana sini situ.Â
Saya hanya anak Kertonegoro, desa mungil, pinggir gunung Manggar, yang bebas dari penggusuran. Baik penggusuran nurani, penggusuran ideologi, penggusuran karakter, penggusuran kebenaran, apalagi penggusuran kekuasaan.Â
Ya bedalah Kertanegara dengan Kertonegoro, Kertenegara itu dentuman seringai wajah bangsa, kalau Kertonegoro itu imajinasi tak bertepi.
Salam IndonesiaÂ
Kertonegoro, 29 September 2016
Salam,