Saya punya sahabat, tidak terlalu akrab. Tetapi selalu ketemu setiap hari. Tidak pernah menyapa kecuali sesekali. Kalau tersenyum, itu mesti. Terlahirlah puisi dari kesahajaannya, menimbun nilai baca hikmah atas ketabahannya. Sahabat bersyukurku yang selalu aku tunggu usai maghriban. Aku ingin istiqomah menemani ia pulang, walau satu dua batang rokok yang bisa aku berikan. Berdialog dengannya, seperti menampar diri, karena terlalu banyak obsesi diri ini. Nyatanya, sedikit saja saya ajak bercanda, lepas tawanya. Aku tidak menemukan susah walau mungkin ada.
.....
Umurku duapuluh lima
Aku manusia
Tetapi sudah lupa apa itu kaya
Aku bekerja
Belajar dari warisan ayah mengais sampah
Tetapi aku juga lupa, apakah ini salah
Pagi aku berangkat
Meletakkan mimpi dan rasa penat
Tetapi aku berharap jangan tergesa-gesa kiamat
Malam, selepas isya aku pulang
Masih tersisa sedikit nasi di rantang
Aku lupa, apakah laparku sudah hilang
Aku tidak punya pacar
Lama aku bersandar untuk sadar
Mungkin ini yang dimaksud orang agar selalu membangun jiwa sabar
Aku tidak mengeluh
Karena nyaris lupa berapa ribu jam aku berkeluh
Aku tidak marah
Karena tanpa marah pun aku sudah terlalu hina
Aku ingin menjadi bayi
Yang ditimang disayang dan disuapi
Tertawa lucu karena tidak mau tahu siapa ayah ibu
Aku wajah pelupa
Selalu di lupa
Aku wajah manusia
Yang lupa siapa yang sedang berkuasa
Karena bagiku lebih menarik seonggok sampah