[caption caption="Tentang pencabutan perda jilbab"][/caption]
Saya menemukan kabar ini di berbagai media. Tidak terlalu mengejutkan, karena berita itu masih berupa pernyataan “ancaman” Mendagri atas perda tentang jilbab.
Saya juga tidak terlalu heran atas berita di atas, karena jauh sebelum pilpres saya sudah memprediksi hal-hal semacam ini akan terjadi jika pak Jokowi terpilih menjadi presiden. Prediksi saya tidak asal menduga, tetapi berdasarkan kalkulasi politik, sosial, dan budaya. Siapa yang mengusung beliau (ideologi, basis politik, sekaligus person-person di dalamnya), kondisi global, dan kepentingan internal bangsa itu analisis sederhana saya, saat itu.
Yah, amatan saya ini tidak terlalu hebat seperti para pengamat-pengamat politik yang bertebaran di layar media negeri ini. Tetapi yang terpenting bagi saya adalah niat untuk mengamati itu bukan untuk membawa hal mengajak kejelekan. Tetapi memberikan perimbangan wacana kepada diri saya sendiri utamanya, juga kepada publik.
Sebagai bukti jika saya tidak dalam posisi “menghujat” adalah, 15 Maret 2014 (beberapa bulan sebelum pilpres) saya menulis di Kompasana yang kemudian saya sebar ke berbagai medesia sosial lainnya. Tulisan yang saya maksud adalah “Nasehat 3 Jangan Untuk Jokowi” (lihat link ini : http://www.kompasiana.com/tigaputri/nasehat-3-jangan-untuk-jokowi_54f81a53a33311b3618b4a41)
Tidak ada yang istimewa dari tulisan tersebut, kecuali harapan saya saat itu kepada beliau (Jokowi) agar tidak terjebak pada arus image yang waktu itu begitu deras menimpa (saat itu calon presiden) pak Jokowi.
Usai pilpres, satu persatu nasehat tiga jangan itu (sebagai indikasi kekhawatiran saya pada beliau) mulai terasa ada benarnya. Dari nasehat tiga jangan yang saya tulis itu yang paling kentara terjadi paska beliau dipilih adalah tentang “jangan beresistensi dengan kepentingan umat Islam”. Atau dengan kata lain, saya mengharap ketika terpilih bapak Jokowi bisa “ramah” dengan Islam dan umat Islam.
Karena saling bermunculan hal-hal yang bisa membuat resistensi atas kepentingan umat Islam selama beliau menjabat. Masih hangat di pikiran kita tentang pemangkasan subsidi negara terhadap dana operasional MUI. Kebijakan ini di awal beliau menjabat dan sempat ramai di publik, meski akhirnya reda dengan sendirinya. Termasuk yang paling akhir adalah tentang menasionalkan Umroh.
Selain itu seakan saling bersahutan dalam waktu bersamaan lahir wacana-wacana yang (sebenarnya) bisa menyinggung perasaan umat Islam. Sebut saja pernyataan si Ade Armando yang menganggap ibadah haji tidak penting. Siapapun akan mengatakan jika wacana itu bisa berpotensi menjadi sebab ketersinggungan. Menyusul kemudian yang masih baru beberapa minggu lalu yaitu ocehan si Ulil di akun twitternya yang menantang Tuhan untuk menurunkan azabnya berkaitan dengan LGBT.
Fakta-fakta itu terus bergulir seakan menjadi pembenar seperti hal-hal yang saya tulis di tulisan “Nasehat 3 Jangan” itu. Bahkan Kemarin, Mendagri diberitakan media telah membuat pernyataan akan mencabut perda tentang jilbab di Aceh. Sontak saja hal ini membuat timbulnya balasan kontra atas pernyataan itu dari berbagai kalangan, utamanya dari masyarakat Aceh sendiri.