[caption id="attachment_418683" align="aligncenter" width="300" caption="“Kegilaan” Antara Kasus Golkar dan Anak Terlantar"][/caption]
Deg degan juga mengikuti putusan sidang PTUN kasus Golkar kemarin siang. Bukan simpatisan sih, kan saya PNS, jadi ya tahu diri, harus netral. Simalakama betul! Kalau membela Golkar, nanti dikatakan antek orba. Mau ngikut pola keputusan Menkumham, nyatanya hati kecil mengatakan tidak baik kalau negara harus terlalu masuk pada urusan partai, apalagi posisinya masalah masih tanpa bentuk semacam kisruh kepemimpinan di Golkar.
Rasakan perbedaannya kala melihat tayangan dua orang tua “gila”, yang melupa dengan buah hatinya. Ada irama hati yang sulit diatur naik turunnya. Yah, orang tua gila, karena Tuhan telah memberi di atas rata-rata dalam nikmat dan kesempatan kepada keduanya. Yah, gila,. karena orang tua itu bukan dalam status darurat jelata atau buta wacana. Karena kelima putranya, sebegitu sempurna.
Bandingkan dengan dua keponakan saya yang sampai detik ini terus “gila” mengihtiari untuk mengharap ijin Illahi menimang bayi. Atau dengan tiga sampai lima teman saya yang juga merindukan hal yang sama, meski sudah puluhan tahun menikah.
Tiga malam ini saya menyembabkan mata menikmati tayangan sinetron “Aku Anak Indonesia”, di RCTI. Irama kisah tentang pergulatan seorang putri yang mencari “asal-usul”nya. Pergulatan batin yang jika itu terjadi di ranah nyata, saya jamin akan menciptakan rasa hina, nista, dan putus asa, bagi dia, sang putri pencari orang tuanya itu.
Lantas, apa korelasi antara keduanya? Yah, dua kejadian yang sama-sama ada indikasi nuansa “gilanya”. “Gila” dalam membaca dan menafsir amanah?
Terus, untuk kasus Golkar, siapa yang “gila”? Jawabnya tergantung dari “kegilaan” si penjawab dalam menjabarkan fenomena kasus yang ada. Ironisnya, kaum cendekia, pendukung, penafsir hukum, pengamat, pemangku kekuasaan sampai pada media, saling berlomba membuka kitab masing-masing untuk dijabarkan ke publik massa. Kitab yang telah sukses membuat “gila” pemirsa dan rakyat yang mengikuti ceritanya.
Sebuah hamparan wacana yang bisa memicu timbulnya gunung es delegitimasi makna. Pembudayaan pola pikiryang gersang keberpihakan pada norma dan kebenaran, lebat pada sisi egosektoral. Kubangan yang memberi peluang untuk menimbun sampah-sampah pemikiran. Ironis sekali, karena hampir semua strata kehidupan negeri ini mulai ikut andil menggali.
Bagaimana dengan kelima anak terlantar? Syukurlah, semua satu suara, sama-sama menghidupkan empati (mulai dari petinggi negeri sampai tetangga kanan kiri). “Menggilakan” perilaku sang orang tua, syukurlah. Tetapi, saya tidak tahu, apakah masih bisa semua satu suara jika sang orang tua “gila” itu ternyata tokoh yang punya warna (politis khususnya) di negeri ini?
Yah, fenomena perjalanan sosial yang cukup aneh di negeri ini selama beberapa tahun terakhir. Benar-benar sebuah pengkerdilan keluasan wawasan dalam melihat nilai-nilai kebangsaan. Masihkah ada yang meragukan praduga saya ini?
Maka tidak heran, dua minggu lalu, pekerja seni di sekolah saya (yang terdiri dari anak teater, anak vokal, dan anak band) hampir bubar! Telusur punya telusur, ternyata telah tumbuh bibit egokomunitas di antar mereka. Syukur, kini selesai sudah, setelah saya katakan kepada mereka jika, “Sekolah ini memanggil kiprah kalian, bukan komunitas kalian itu yang perlu didahulukan. Sekolah ini akan menangis, karena kalian lenyap kiprahnya, gara-gara menomor satukan komunitasnya...”.
Akhiri hiruk pikuk, gaya balas membalas, saling meninggikan diri. Negeri ini akan semakin besar jika masing-masing anak bangsa ihlas untuk menyeka luka-luka yang dipunya. Andai ego yang tertampak selama ini terus terjadi, bukankah sama derajat pemikirannya dengan siswa saya? Atau, akan terlantar seperti kelimanya!
Wallahu’alam bisshawab...
Kertonegoro, 19 Mei 2015
Salam Indonesia
Catatan :
Kata “gila” dan “kegilaan” telah saya upayakan untuk dibubuhi tanda petik. Penegas, jika saya mengharap jangan terjadi hal semacam itu. Sekaligus sebagai keprihatinan saya atas segala keriuhan kehidupan (utamanya perpolitikan dan pola etika) berbangsa.
Ilustrasi : gambarlucu.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H