Kembali, Ambigu Menerpa Hati
Baru saja saya membaca tulisan dari seorang yang diakui sebagai jurnalis internasional, yang tentunya diakui oleh pekerja media akan keahlian jurnalistiknya, yang sekarang berdomisili di sebuah negara tetangga. Tidak perlu saya sebutkan siapa dia, hanya perlu saya berikan link tulisannya : http://politik.kompasiana.com/2014/02/14/wacana-kri-usman-harun-lebih-merugikan-indonesia-635042.html. Silahkan disimak!
Tadi malam saya tersedak ketika ingin menyimpulkan akhir tulisan tentang "Valentine". hentakan penuh cinta begitu mendayu dalam tulisan saya itu. "Laras Manis Membaca Kedewasaan Cinta", itulah judul tulisan yang tadinya ingin saya upload di media-media online yang ada. Ketersedakan saya itu menguat ketika media memberitakan fakta terkini atas europsinya Gunung Kelud, tepat di dini hari. Potensi 66 ribuan kepala untuk menjadi pengungsi dan nelangsa menjadi kepastian hati agar menyudahi melankolisasi tulisan saya di Valentine tahun ini.
Enam jam ini inbox di FB saya terserbu ucapan selamat valentine, terbanyak dari murid dan mantan murid. Rangkaian katanya terasa indah, tersembunyi tingginya rasa care dan sayang dalam inbox itu. Jawaban saya adalah : "Sama-sama, yuk kita fokuskan energi cinta kita ke teman, sahabat, dan saudaara sebangsa se tanah air yang kini dalam kegelisahan bencana. Itu lebih baik, suarakan saja dalam tautan kalian dengan manis dan indah...."
Tiga paragraf awal di atas menggambarkan kegamangan perasaan yang saya miliki di hampir 15 jam ini. Menarik garis tegas terasa kesulitan. Disatu sisi gerah dengan justifikasi terbalik dari seorang penulis (yang berkaliber) sampai pada bayang-bayang mata sayu karena kurang tidur dan harus rela meninggalkan rumah dan harta bendanya. Di sisi lain (biasanya di moment semacam valentine ini) ulasan puitis saya dinanti sahabat, murid, dan pembaca setia saya, kini harus saya cancel untuk Tahun ini!
Salahkah saya kalau saya putuskan mendeled tulisan kasih sayang tentang valentine ini? Jahatkah saya ketika membalas dengan kalimat ironi dari penginbox FB saya tentang ucapan kasih sayang? Sempitkah logika berpikir saya dengan membenturkan dua fenomena yang berbalikan itu? Atau malah saya adalah seorang patriot, yang mengedepankan permasalahan negara? Atau, sebenarnya masalah ini sederhana saja, cukup mengambil jalan tengah yaitu melakukan keduanya, mengupload dan membalas respon valentine's day dan juga menyapa mereka yang sekarang gelisah akibat Kelud yang meradang!
Sungguh, Mohon jangan salahkan saya, fokus kasih sayang saya dalam seharian ini mengumpal pada wajah-wajah saudara yang sekarang dipengungsian, pada gesitnya relawan, TNI, POLRI yang berkejaran dengan penyelematan. Terasa tercabut begitu saja semangat untuk mencinta dan mengasihi di hari Valentine ini.
Yah, valentine tahun ini, dalam resapan batin saya, lebih mengaktualisasikan jika saya memang harus fokus pada kasih sayang sesama. Mencinta yang berpeluh membersihkan tumpukan debu di rumah dan dipinggir jalan.Mencinta yang sebagian rumahnya harus tidak utuh lagi oleh beban material eruropsi. Mencinta semua manusia yang ada dalam gerak langkah kerja kemanusiaan.
Yah, mungkin ini adalah penggiriangan yang manis dari Tuhan agar kita, warga Indonesia, segera meletupkan cinta agar nantinya mengerucut pada cinta negara! Karena betapa rentannya cinta itu kini, betapa senangnya menghapus dari geliat hati kita, betapa tidak ada rasa bersalah ketika tanah air sudah menjadi rumah kedua, betapa bunganya menenggelamkan nilai, nama, dan wibawa sesama warga. Pertanyaannnya, tanah air saja sebegitu mudahnya dipisah, maka akan sangat memungkinkan jika cinta dan kasih sayang, kini, hanyalah gincu belaka?!
Tuhan sedang memberikan pendidikan ke kita, inilah ujian pilihan cinta dan kasih sayang sebenarnya, entahlah...!
Kertonegoro, 14 Pebruari 2014
gambar dari visijobs.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H