Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hayo, Mana Suara Nasionalisme Itu, Ya? (Masih tentang Penyadapan)

2 November 2013   12:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:41 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13833700231259337521

Apa karena memang saya tidak mengerti maksud penyadapan itu, atau memang ada ilmu dan undang-undang kalau penyadapan sudah diperbolehkan, atau memang penyadapan hanyalah kesalahan kecil, atau (jangan-jangan) karena penyadapnya “mbahnya” demokrasi?

Bisa jadi yang disadap hanya info kecengan, sehingga tidak perlu gegap gempita menyambutnya untuk menjadi tema yang “harus”. Bisa jadi juga karena sudah semua info tersadap, sehingga riskan juga kalau harus melawan sang ahli sadap. Sekali lagi, bisa juga penyadap lagi gerilya untuk ‘”bagi-bagi” agar lenyap kekritisan untuk menggugat perilaku sadapan itu.

Menyadap, maknanya lebih cenderung pada sesuatu yang jelek lho ya. Ada niat tersembunyi yang hanya ia yang tahu maksudnya. Pasti ada langkah lanjutan kok pasca menyadap itu. Lebih ngeri lagi, dibalik penyadapan itu ada “oknum” yang bermain untuk memuluskan sadapan itu.

Hayyooo, kini perilaku yang berkonotasi menyimpang ini sedang menimpa kita, menimpa harga diri bangsa, sangat menyesakkan dada. Mana ya inpirasi yang sering saya baca, kok terkesan adem ayem. Ini bukan lagi masalah golongan, apalagi mashab, lebih-lebih hanya sekadar “sosok”. Mari sedikit waspada, jangan-jangan nomor PIN ATM kita juga sudah terendus semua.

Sangat layak kalau saya mengajak semua yang ada untuk tidak membiarkan nilai kecintan kita kepada negeri ini terkalahkan oleh barang yang sepele. Kalau toh ajakan saya ini tidak pernah berimbas, maka (sebelum saya mengajak) terlebih dulu saya pasrahkan kepada Tuhan saya apapun hasil ajakan ini.

Yuk, kita letakkan dulu phobia-phobia, fustunkah, sipiliskah, tokoh ini itukah dan segala geliat yang bersifat sektarian dan parsial itu. Yuk, kita rajut rasa menjaga harga diri bangsa ini dengan menyuarakan gugatan sesuai warna masing-masing. Hampir teryakini, dibalik semangat kita yang selama ini terkuak dalam tulisan-tulisan, akan kepentingan apapun, ada bisikan merasa berdosa kalau energi brilian menulis yang dipunyai harus terbungkam rapat dengan kejadian ini. Jangan semakin menumpukkan rasa bersalah itu seakan penyadapan hanyalah intermezo belaka.

Apapun permainan di balik penyadapan itu, ini bisa menjadi langkah awal merajut rasa nasionalisme kita. Bentuk rajutan itu tentu dengan yang manis dan elegan, yang brilian dan jantan, yang teduh dan punya gengsi tinggi. Dan, tidak seperti sekarang, yang seakan membenarkan penyadapan itu.

Terlepas dari dari mana sang penyadap, apa haluan ideologinya, sangat wajar kalau tema ini seharunya lebih ramai daripada tema-tema yang ada.

Jangan sampai pertiwi menangis melihat kenyataan anak-anak bangsanya sudah kehilangan rasa memiliki. Jangan jadikan pertiwi semakin histeria setelah tersadari ternyata rasa memiliki itu kini direbut “yang lain”. Kalau bukan kita siapa lagi?

Apakah ini berlebihan? Atau justru terlalu lentur? Semua berpulang ke diri masing-masing. Hanyalah sekadar mengajak untuk membuktikan kalau kita dan semangat kita di tunggu Ibu Pertiwi untuk menemaninya, akibat perilaku yang kurang gentle itu.

Ayooo, minimal di suara hati kita ada rasa tidak terima dengan perilaku itu. Maksimal, bergeraklah sebisanya, agar mereka itu gerah dan tobat dengan perilakunya. Maaf, bisa saya masih hanya bisa mengajak saja. Semoga Pertiwi tersenyum jua dengan kemampuan saya yang hanya sebatas ini.

Hayyooo, kita sapa Pertiwi kita, ya...

Kertonegoro, 2 Nopember 2013

gambar dari : www.tribunenews.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun