Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mendiang (Saatnya Berkontribusi Menepis Praduga)

21 Mei 2014   22:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:16 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Saatnya Berkontribusi Menepis Praduga)



Menarik yang dikatakan Arswendo di ILC tadi malam, tumben sekali konten yang disampaikan cukup humanis dan meneduhkan. Kenakalan imajinasi yang biasa meletus dari seniman ini tadi malam diramu dengan hentakan agar semua faham jika yang diperebutkan hanyalah pembenaran belaka. "Andai Jokowi - Prabowo malam ini akur dan bersahabat, saya jamin yang ada di ruangan ini bingung juga, tentu akan ikut akur juga. Hayoooo....". Begitu kalimat akhir yang sempat saya ingat. Jadi?

Yups, kacamata kuda, itulah intinya. Informasi yang ada selama ini memang ada yang berindikasi fakta, tetapi ketergantungan pikir untuk meminggirkan salah satu telah menyebabkan kacamata (kuda) semakin tebal. Yang satu bergairah terus menggelontorkan aurora Mei, yang satu meminta janji lima tahun ditepati. Pasca deklarasi keduanya, hembusan tema mulai sedikit santun, dua kubu sama-sama bercerita pengalaman hidup dua tokoh yang pernah dilihat. Tulisan terakhir yang saya ikuti adalah "catatan kecil dari seorang wartawan...".

Lepas dari kebenaran ulasan yang dipaparkan untuk membangun nuansa itu, yang pasti energi besar telah dikeluarkan. Friksi gesekan ini merambah pula pada media dan sebagian pengamat politik berkelas di negeri ini. Tak pelak Pak Ichlasul Amal, UGM, bersuara jika bergeraknya warna politik negeri ini masih juga tidak berbentuk. Ada pula yang menengarai akan terjadi militansi di tengah masyarakat yang terbentuk dengan sendirinya berangkat dari rivalitas dua tokoh ini.

Wajarkah? Kalau melihat dari gestur pejabat negeri ini, mulai dari Menkopolkam dan seterusnya ke bawah, patut untuk menjadi pil penenang. Tidak ada kegelisahan dari yang berwenang menatap menukiknya potensi saling menyerang antar dua kubu akhir-akhir ini.

Arswendo telah mengawali dengan membuka fakta humanis dalam melihat wacana. Kalau boleh saya terjemahkan dengan kasar, setidaknya Arswendo ingin mengatakan : "Jika anda politikus, silahkan bersuara apa saja tentang yang anda targetkan karena memang itu tugas anda sebagai politisi. Tetapi harus yakin sepenuhnya, ternyata teriakan anda itu sejatinya bisa berubah ketika yang anda suarakan sekali waktu berseberangan dengan anda...".

Nah, Tugas kita juga untuk berteriak, "Hai rakyat, jangan segerakan emosi kalian dikeluarkan. Karena, enam-tujuh bulan lagi bisa jadi mereka akan bersepakat untuk bermain-main lagi, maka, saat itulah seharusnya emosi mulai diperlihatkan sedikit demi sedikit....".

Berharap lebih pada harapan agar semakin banyak ulasan yang lebih pada mengeleminir kekacauan berita. Lebih menjanjikan pada proses pergantian ini, lebih menguatkan kedewasaan diri, lebih menampakkan jika rivalitas keduanya hanyalah temporari belaka. Tetapi apa daya, karena memang masih seperti inilah warna politik yang ada. Merasa menang jika musuh terlihat kalah....

Jangan biarkan diri menjadi mendiang, menampakkan diri sebagai abu dari sisa-sisa sekam perjalanan bangsa. Abu yang berterbangan dengan rasa kemarahan melanglang kemana arah angin menghantarkan. Tampak seperti pernak-pernik kepastian, tetapi sejatinya roh telah hilang tertelan kepentingan.

Warning!

Bisa jadi apa yang kalian anggap benar, ternyata salah dihadapan Tuhan. Bisa jadi apa yang kalian anggap salah, ternyata kebenaran jua menurut Tuhan... (Al-ayah)



Kertonegoro, 21 Mei 2014

Ilustrasi : media.kompasiana.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun