Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Mereka" Menggali Kubur Diri Sendiri

23 Juni 2014   16:50 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:35 1110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SM, pegiat survey di awal-awal reformasi harus menceburkan diri ke lautan politik uang. Aktifitas mensosialisasikan hasil survey yang pernah merajai pemberitaan kala itu menjadi menguap seketika. Bagi-bagi uang yang dilakukan menjadi pengukuh jika benteng kepatutan hasil survey yang jernih retak satu demi satu. Meski peristiwa temuan bagi-bagi uang ini tidak terblow-up masiv di media, kerentanan trust masyatakat mulai nampak; memudar dan apatis.

Intelek (cendekia), mulai memasuki kepanikan wawasan. konsistensi keberpihakan pada ide-ide besar, lambat tapi pasti tenggelam oleh fatamorgana subjektif. Hal yang seharusnya diteriakkan, kini serak dan mengganjal di tepi kerongkongan atas. Ada yang tersumbat atau memang sengaja menyumbatkan diri. Membenarkan wacana, dengan memberi dikotomi kontradiktif, mewarnai ruang besar pemikiran yang dimiliki. Seakan keluasan wacana (sunatulloh) akan terhenti oleh perhelatan negeri. Sayup-sayup terdengar nyanyian sedih lorong-lorong pembebasan pikir, ditinggal, beralih dikerumunbelukar untuk menafsiri kepentinga-kepentingan.

Pengamat sudah terlalu dalam galiannya, berlama-lama mengeruk kepentingan untuk dicuatkan sebagai perspektif amatan. Fenomena yang terjadi setiap hari, yang begitu deras menerpa permukaan hidup publik, menjadi kelelahan tersendiri dalam kekritisan yang pernah dimiliki. Nuansa mengambil jarak telah berani di tabrak demi analisa parsial, yang entah dari mana datangnya. Telah mengaburkan hak awam untuk menikmati kejernihan nyanyian yang seharusnya merdu di dengar.

Media, bak iklan untuk konsumsi sepihak. Gerusan info yang seharusnya bisa menjadi sarapan pagi yang sehat bagi khalayak, kini kenikmatan sarapan itu harus di kunyah dengan kejelian sendiri oleh pemirsanya. Ironisnya, satu informasi yang sama harus terbungkus dengan indahnya menjadi aneka panganan lengkap dengan bonus kepentingan. Puncak kekronisannya adalah memberitakan isyu yang dilempar sendiri dengan target membentuk opini.

Politisi bak menemukan energi yang terbarukan dengan kondisi ini. Semakin terangsang untuk menari sejadinya sembari melirik mencari mangsa untuk memuja target yang direncana.

Fenomena yang dianggap wajar setiap kali menjelang kepastian pergantian kepemimpinan. Padahal ada yang tidak wajar di tahun ini, yaitu terjadinya kolaborasi yang apik diantara instrumen semua itu, tanpa mau melihat kepastian norma dan sensitifitas kepentingan warga lagi. Polesan, atas nama, demi, akan, pernah adalah jargon-jargon untuk menggiring ke rumah siasahnya.

Awam ditarik-tarik lagi dengan make-up info sejadi-jadinya. Awam belum marah dan tidak akan marah, karena awam tahu sejatinya mereka-mereka sedang menggali kubur untuk dirinya sendiri. Maka awam tetaplah awam lengkap dengan keawamannya yang tidak akan mungkin mampu dikubur oleh rekayasa kepentingan.

Pertanyaannya, "Siapa yang lebih pintar dalam hal ini...?".Sunatulloh lebih pasti beredarnya di atmosfir tatanan hidup, menjadi modal utama untuk mencipta norma-norma. Maka hentikan liukan pembenaran norma, karena akan terkubur jua nantinya!!!

Kertonegoro, 23 Juni 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun