Akhmad Fauzi*
Prediksi itu akhirnya menjadi kenyataan. Kembali pak Anies, Menbuddasmen, melakukan perubahan yang krusial. Setelah penghentian sementara K.13 yang masih menyisakan catatan-catatan pasca RDP dengan DPR, pak Anies memutus lagi tali kekang UN yang selama ini menjulur kemana-mana. UN dihentikan, titik tekan yang menjadi alasan adalah agar tidak ada lagi suasana ketakutan siswa dalam belajar.
Lagi-lagi Menteri yang satu ini mengajak bangsa untuk mau merubah mindset. Kalau selama ini UN bagian yang tak terpisahkan dengan gerak langkah pembelajaran, kini UN dibelokkan sebagai alternatif penyemangat siswa agar lebih bergairah dalam belajar. UN tidak lagi menjadi faktor penentu tetapi menjadi bagian yang tak terpisahkan untuk menarik minat siswa belajar ke jenjang sekolah lanjutan yang disenangi.
Kalau di lihat dari sejarah panjang perdebatan tentang perlu tidaknya UN, mereka yang berhasrat penghapusan UN ini, salah satunya beralasan, karena merasa risih dengan “empat hari yang menentukan” itu. Yang merasa risih itu adalah mereka yang memandang guru lah yang lebih berhak meluluskan siswa didiknya. Alasan ini menjadi melebar ketika guru tidak siap melihat anak didiknya kandas di UN. Maka lahirlah gerakan-gerakan untuk pensikapan menghindari ketidaksiapan itu. Hal ini masih ditimpali lagi dengan kerja BSNP yang selalu menyisakan masalah di setiap kali UN dilaksanakan. Komulasi alasan inilah yang selama ini menyeruak menjadi gerakan penggugatan atas perlunya diadakan UN.
Benarkah ini berarti kekalahan bagi mereka yang selama ini berpikir konservatif dalam memandang UN? Tidak juga demikian, karena sebenarnya di akhir kabinet SBY sudah ada pengerucutan simpulan yang lebih menyiratkan perpaduan antara konsep yang pro dan kontra terhadap UN ini. Pak Nuh sudah berani merubah jika UN nantinya hanya untuk pemetaan tingkat pemerataan pelayanan pendidikan saja.
UN masih perlu diadakan merupakan kehendak mereka yang berharap agar UN tetap bisa menjadi bagian evaluasi akan hasil pembelajaran di kelas. Sementara UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan, ini bagian usulan dari mereka yang mengharap tidak diperlukannya UN. Pak Anies mengambil jalan tengah, UN tetap jalan tetapi kelulusan dikembalikan ke sekolah? Tidak itu saja, perubahan pelaksanaan UN ini menyangkut juga pada postur soal dan bentuk pelaksanaan. Setidaknya ada enam hal yang dikemukakan oleh Kemenbuddasmen berkenaan dengan perubuhan pola pelaksanaan UN.Hanya saja beberapa item Perubahan itu baru bisa dilaksanakan pada tahun depan (2015) karena harus ada persiapan perangkat lunak di setiap satuan pendidikan.
Dari sisi hukum, kebijakan ini memang tidak menyalahi UU sisdiknas. Kalaupun UN ini terpaksa ditidakan, ada yang berpendapat tidaklah menyalahi makna evaluasi yang diamanatkan dalam UU tersebut. Dengan asumsi, evaluasi yang dimaksud dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas(pasal 1 point 21, pasal 57-59 ) bisa ditafsir sebagai evaluasi kelas maupun evaluasi sekolah. Tidak harus evaluasi secara nasional semacam UN.
Sampai batas ini, pak Anies boleh dikatakan tidak akan mengalami hambatan regulasi dan hukum. Tetapi bagaimana dengan pelaku di lapangan? Inilah yang cukup menguras energi penjelasan agar tersambung antara yang dikehendaki pusat dengan langkah satuan pendidikan yang ada. Bagaimana tidak khawatir, lha wong kebijakan ini hanya berjarak kurang lebih tiga setengah bulan dari penerapan kebijakan itu.
Menyerahkan kelulusan kepada sekolah masing-masing dengan kondisi regulasi yang masih berupa konsep lama akan menimbulkan dampak kekalutan yang luar biasa dilapangan. Satu contoh saja, setiap satuan pendidikan di awal ajaran baru telah usai menetukan kriteria kelulusan bagi sekolah masing-masing yang tertuang dalam bentuk bandel KTSP. Bagi sekolah yang taat azas, maka merubah kriteria ini tidak cukup waktu satu bulan, karena harus melalui musyawarah dengan stakehoulder termasuk nantinya dilakukan pemeriksaan dan pengesahan oleh dinas pendidikan kabupaten. Lantas, bagaimana dengan ketentuan pelaksanaan UN secara online dengan menggunakan bentuk soal yang tida lagi multiple choice? Tentunya hal ini membutuhkan konsekwensi langkah baru yang tidak bisa sesederhana seperti konsep yang dijabarkan oleh regulator.
Gambaran ini masih terbatas pada piranti aturan yang bersifat internal satuan pendidikan. Belum berbicara tentang perangkat peraturan daerah yang mengekor dari peraturan diatasnya. Belum lagi juga kewajiban guru untuk menggeser pola pikir siswa dari “harus lulus” menjadi “harus bisa masuk sekolah yang disenangi”. Ingat, kelegaan siswa dari jerat “hantu” UN ini akan melenakan dia dalam mensikapi kelanjutan studinya. Satu lagi, akan terjadi persaingan yang tidak sehat antar satuan pendidikan jika tidak segera digulirkan peraturan (juklak dan juknis) yang tegas baik dari kementrian maupun dari dinas pendidikan kabupaten setempat. Persaingan yang saya maksud adalah berlomba memberikan yang terbaik kepada siswa agar mereka bisa terjaring di sekolah lanjutan favorit, yang tentunya akan bisa meninggikan image sekolah tersebut di mata masyarakat. Akan lebih tragis jika dalam realita proses pembelajaran kesehariaan di sebuah lembaga acak-acakan tetapi dalam menelorkan lulusan justru nilai siswa ‘camloude” semua!
Kengerian fenomena di atas bukan tidak mungkin terjadi, terlalu banyak contoh yang bisa di analogkan untuk menggambarkan kebenaran kemungkikan terjadinya fenomena di atas. Tetapi tidak pula berarti semua satuan pendidikan (sekolah) akan bertindak demikian. Saya yakin niatan menghilangkannya UN sebagai penentu kelulusan salah satunya berpijak pada memangkas praktik-praktik kecurangan. Menjadi ironi jika ihtiar untuk memutus kecurangan itu malah melahirkan kecurangan yang baru. Menjadi kerja keras regulator untuk mensikapi hal ini. Bagaimanapun keputusan tentang UN ini telah diterjadi, jangan sampai hikmah perubahan pola keberadaan UN ini menjadi kesemrawutan baru lagi.
Untuk mengawasi lebih ketat kegiatan belajar mengajar di sekolah dan kesalahan proses yang selama ini terus berulang, di dalam RDP kemarin,pak Anies pun berencana membagi zona pengawasannya ke dalam beberapa wilayah. Namun Anies belum memberi tahu sistem spesifik seperti apa yang akan diterapkan. Bisakah pengawasan dengan sistem zone ini meretas 1001 masalah yang menjerat pendidikan bangsa ini? Mari kita tunggu bersama.
Yang patut diapresiasi dari semangat perubahan sitem pelaksanaan UN ini adalah menghapus budaya ketakutan siswa. Setidaknya akan mempertipis ekses lanjutan berupa gerakan-gerakan yang tidak berbudaya yang seringkali dipraktikan di setiap pelaksanaan UN. Namun, harus tetap diwaspadai adanya ketakutan lain lagi dampak dari perubahan ini berupa ketakutan “gagal masuk sekolah lanjutan yang diminati” gara-gara ada “permainan baru” lagi!
Saatnya memulai belajar dengan ceria tanpa mengurangi makna kedisplinan dan kejujuran sebagai bagian karakter bangsa. Lewat belajar yang ceria itulah akan tumbuh gairah baru dalam dunia pendidikan negeri. Minimal, kita belajar untuk menjadikan pendidikan ini sebagai wahana yang sempurna untuk menempa kekuatan mental spiritual manusia. Bukan lagi untuk berlomba untuk mencari nama dan celah.
Kertonegoro, 31 Januarui 2015
*Penulis adalah Pemerhati Pendidikan
Tinggal di Kertonegoro – Jenggawah – Jember
Ilustrasi : theblueinkwell.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H