Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

2015, Masihkah Ada Agama (Tuhan)?

1 Januari 2015   06:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:03 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1420042636269100273

(Yang perlu dicermati di setahun lagi)



Pertanyaan yang berbau was-was setiap kali melihat ringannya postingan-postingan di media sosial. Di tautan FB teman kompasianer, mas Teguh Suprayogi, terposting gambar beberapa pemuda yang sholat dengan “gaya baru” (silahkan lacak sendiri tautannya). Ada lagi beranda twitter yang bergambar gadis berjilbab memposting “rasa syukur” atas suatu musibah. Untunglah, dari ulasan pak Armand ditengarai kalau akun twitter ini telah dihacker sebelumnya.

Dari diskusi saya dengan seorang yang terang-terang mengaku agnostik, menampakkan sesumbar jika jaringannya sudah mendunia. Dengan bangganya dia mengatakan jika kini “kaum abangan” di Indoneisa lebih besar dari pada yang “hijau”. Rambahan gelagat anti agama (tetapi tetap mengakui Tuhan) kini bukan lagi hal baru. Anehnya, yang di serang lebih cenderung kok yang bernafaskan Islam.

Hal ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, jauh sebelum reformasi terjadi mereka pernah sesekali muncul tetapi lebih pada pola penjajakan kesempatan. Mungkin kala itu agnostik identik dengan atheis sehingga pararel dengan organisasi yang dilarang di negeri ini. Pasca reformasi, sekitar tiga tahun terakhir, penampakan atas gerakan ini semakin jelas dan terbuka. Penyuara-penyuaranya pun berani keluar dari kandang, meski masih bertopeng, meski mengunakan simbol-simbol yang masih perlu diraba. Bertopeng bisa dari ujud wajah dan akunnya, bisa juga dengan bersembunyi di balik gerakan orang lain.

Bisa dipahami jika ada yang menyarankan agar kaum yang beragama harus instropeksi dengan keadaan ini. Kasarnya, salah sendiri karena terlalu sibuk dengan kontradiksi internal. Tetapi tidak bisa dinafikan juga jika bombardir opini dan kajian opini di media juga di diskus-diskusi, ikut mempercepat perkembangan gerakan anti agama ini.

Pertanyaannya, siapkah Indonesia hidup tanpa agama (Tuhan)?

Fenomena sholat gaya baru, ocehan yang buta hati terhadap suatu musibah sampaipada geguyonan yang sering kali menyepelakan keberadaan agama (dan Tuhan) menjadi indikasi kuat jika eksistensi agama (utamanya Islam) sedang diuji. Mampukah keberadaan agama di negeri ini tetap eksis dengan gempuran-gempuran yang ada? Wallahu’alam...

Jika toh agama dan Tuhan, di satu tahun ke depan (2015) mulai lemah diri, harus ada yang berani turun ke jalan untuk melawan. Jika ternyata kalah juga, ihtiar minimal yang harus dilakukan adalah berlomba-lomba menyelematkan diri dan keluarga yang dimiliki. Yah, mungkin sudah masanya agama (utamanya Islam) mulai asing (dan diasingkan). Baik karena oleh upaya luar maupun akibat telodornya pemeluk agama itu sendiri.Sangat wajar jika yang masih punya ngeh untuk ikut bersuara!

Saya mencurigai jika konstelasi kasus-kasus intoleran di negeri ini ada campur tangan dari yang anti agama, karena meyakini sekali jika sebenarnya toleransi antar ummat beragama cukup kokoh di bumi persada ini. Bisa jadi pelecehan-pelecehan agama, keberadaan akun Rachma Wati, sampai perang sengit tautan di beberapa media sosial memang merupakan salah satu grand designnya. Langkah yang tepat adalah kewaspadaan oleh masing-masing ummat beragama. Tidak terpancing letupan-letupan kecil, tidak tergesa-gesa “tersinggung” dan menyalahkan. Kalau perlu antar ummat beragama saling menguatkan di antara keduanya, agar nilai-nilai agama masih tetap lestari di bumi pertiwi ini, agar negeri ini tetap sebagai negeri yang religi. Bisakah...?

Harus bisa, karena jika tidak bisa, bahkan saling adu kepala, sangat mudah bagi yang tidak suka agama untuk membenturkan keduanya, agar musnah keberadaannya. 2015, semoga masih ada agama (dan Tuhan) di Indonesia! Amin

Kertonegoro, 31 Desember 2014

Ilustrasi : www.muslimmedianews.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun