Mohon tunggu...
Tiffany Setyo Pratiwi
Tiffany Setyo Pratiwi Mohon Tunggu... Dosen - Lecterur in International Relations Studies

Lulusan Master of Arts Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peran Perempuan dalam Keluarga

5 Juli 2023   13:43 Diperbarui: 5 Juli 2023   13:47 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini berangkat dari pendapat pribadi dan penulis juga mendapatkan beberapa informasi dari referensi bacaan terkait. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menggiring fenomena peran perempuan yang baik adalah yang mengabdikan dirinya dirumah atau perempuan yang smart adalah mereka yang bekerja secara mandiri untuk memenuhi finansialnya. Sekali lagi, tulisan ini hadir untuk berbagi ide pemikiran penulis dan mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan bagi perempuan-perempuan di Indonesia secara khususnya. 

Perempuan adalah pencetak generasi baik di level keluarga hingga sebuah bangsa. Perempuan menjadi sosok yang berperan sentral dalam pola asuh anak yang mempengaruhi bagaimana anak-anak dibesarkan. Perempuan juga tidak jarang menerima perlakuan kurang mengenakkan hanya karena mereka perempuan, seperti perlakuan diskriminatif, beban ganda, tidak diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki, dan dominasi laki-laki atas kehidupan perempuan serta masih banyak contoh lainnya. Perempuan merupakan agent of change yang sesungguhnya karena darinya generasi-generasi penerus sebuah keluarga bahkan bangsa sejak kecil terbentuk. Artinya hadirnya perempuan adalah kebaikan yang diberikan oleh Sang Pencipta untuk ditempatkan perannya di Bumi ini. 

Penulis akan membagi peran perempuan dalam sebuah keluarga yakni perempuan berperan sebagai seorang anak, seorang istri, dan seorang ibu. Rasanya tiga peran ini begitu melekat bagi diri seorang perempuan dalam fase kehidupannya. Penulis ingin mencoba membedah satu per satu dengan menekankan tulisan ini berangkat dari opini pribadi yang terbentuk dari beberapa referensi bacaan dan pengalaman/pengamatan pribadi penulis.

Peran perempuan dalam sebuah keluarga sebagai anak sejak dulu penuh dengan tantangan. Anak perempuan dianggap aib, kehinaan, dan tidak berguna sehingga dulunya peristiwa bayi perempuan dibunuh karena tidak diinginkan pernah terjadi dalam sejarah. Namun perlahan stigma dan keyakinan semacam itu hari ini sudah memudar. Orang-orang sudah memahami bahwa baik anak laki-laki dan perempuan memiliki hak untuk hidup yang sama, meskipun stereotype anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi masih sering kita jumpai di masyarakat, ini menjadi problem klasik yang masih terus ada di banyak keluarga. Contohnya saja di keluarga besar Penulis, dimana dari keluarga Kakek dan Nenek Penulis yang menyekolahkan anak-anak lakinya hingga kuliah sedangkan anak-anak perempuanya hanya sampai SMA dengan alasan anak perempuan akan dibawa oleh suaminya. 

Selain itu, perempuan sebagai seorang istri di dalam sebuah keluarga juga penuh dengan cerita, cerita yang bahagia namun tak sedikit cerita yang berakhir kesedihan. Istri adalah seseorang yang berperan dalam keluarga sebagai partner/pasangan hidup bagi suaminya, bukanlah sebagai pelengkap semata. Sayangnya seringkali orang-orang masih suka menyebut peran istri di dalam rumah tangga adalah pelengkap. Penulis sangat tidak setuju dengan pendapat seperti ini. Karena istri memiliki tugas yang sangat vital dalam keberlangsungan sebuah rumah tangga, begitupun seorang suami. Namun, fenomena di masyarakat yang menganggap istri sebagai orang yang berkewajiban mengurus rumah sudah terpatri begitu lekat sehingga tak heran bagi banyak kalangan jika melihat suami menyapu atau mengepel atau memasak adalah sesuatu yang aneh. 

Bagi penulis sudah seharusnya membangun equal partner di dalam rumah tangga sehingga tidak perlu ada stigma negatif demikian, equal partner ini adalah kehidupan rumah tangga yang bisa dikatakan ideal, karena masing-masing saling menganggap dan berkomitmen bahwa semua tugas di rumah tangga sama pentingnya, tidak menjadi superior atas yang lain atau merasa paling berkuasa atas yang lain. Sayangnya, equal partner ini menemui banyak hambatan dan tantangan dalam penerapannya. Salah satu hambatannya adalah fenomena kawin paksa atau perjodohan oleh keluarga. Misalnya fenomena anak perempuan yang baru saja lulus SMA yang dipaksa menikahi seseorang laki-laki yang umurnya sudah cukup tua namun kaya raya karena untuk melunasi hutang keluarganya. 

Pernikahan seperti ini akan menemui hambatan dari segi umur dan kesiapan mental. Sehingga posisi istri akan sangat lemah dan mudah dikuasai oleh suami. Bahkan seorang istri tidak memiliki kekuatan untuk ikut mengambil keputusan-keputusan penting dalam rumah tangganya. Kemudian, salah satu tantangan membangun equal partner adalah budaya patriarki. Budaya patriarki adalah budaya yang menempatkan posisi laki-laki lebih penting dan lebih mendominasi daripada perempuan. 

Artinya jika ini terjadi di dalam sebuah rumah tangga, maka seorang istri akan selalu menuruti perkataan suaminya tanpa mampu memberikan pendapatnya, seorang istri mungkin akan dilarang untuk melakukan hobby-nya oleh suaminya, bahkan budaya patriarki ini bisa memicu tindakan agresif hingga kekerasan seksual atau pemuas nafsu belaka untuk suaminya. Fenomena lainnya adalah banyaknya perkawinan yang dilakukan secara kekeluargaan atau siri, artinya perkawinan ini tidak tercatat secara resmi dan tidak diakui secara hukum. Bahayanya kedudukan istri tidak diakui oleh hukum dan suami akan berpotensi tidak memenuhi tanggung jawabnya sehingga seringkali pernikahan siri berujung pada perceraian yang menempatkan posisi istri menjadi lemah. 

Terakhir adalah peran perempuan sebagai seorang ibu. Bagi banyak perempuan, impian menjadi seorang ibu adalah suatu bentuk kesempurnaan bagi perempuan. Penulis sepakat dengan pemikiran ini. Namun bukan berarti perempuan yang belum diberikan keturunan atau tidak bisa memiliki keturunan adalah sesuatu yang salah dan menjadi "aib" bagi mereka dan keluarga. Penulis sangat menolak anggapan seperti ini. Karena sejatinya keturunan itu adalah hak dari Sang Maha Agung Allah SWT, bukan ranah manusia untuk memberikan penilaian apapun. Sehingga Penulis akan berhenti pada statement ini.

"Surga ada di kaki seorang ibu", kalimat ini rasa-rasanya tidaklah berlebihan karena mengingat perjuangan dan pengorbanan seorang ibu untuk mengandung dan melahirkan yang begitu beragam kesulitan yang dialami hingga bertarung nyawa. Bagi Penulis, seorang ibu yang baik adalah yang memprioritaskan anak-anaknya setelah itu baru kebutuhan dan kepentingan lainnya. Contoh kecilnya, ibu yang baik akan memilih mendahulukan membelanjakan uang untuk kebutuhan susu anaknya daripada membeli tas terbaru yang ia sukai. Bagi Penulis yang sudah merasakan menjadi seorang ibu, hal demikian memang benar-benar terjadi. Seorang ibu secara otodidak mampu menguasai manajemen keuangan keluarga. Seringkali seorang ibu bisa berperan beragam profesi, menjadi guru mendidik anak-anaknya, menjadi perawat yang merawat anak-anaknya saat demam, menjadi konsultan keuangan untuk mengatur pemasukan/pengeluaran rumah tangga, menjadi designer interior rumah untuk menata rumah agar terlihat indah, bahkan menjadi tukang galon yang bisa mengangkat galon. Namun dari semua peran-peran ini, sejatinya seorang ibu adalah seseorang yang menjadi jantung dalam rumah tangga baik untuk anak, baik untuk ia sebagai istri ke suaminya, bahkan pengelolaan dan penyelesaian konflik/ masalah seringkali bergantung kepada seorang ibu. Di sisi lain, kewajiban seorang ibu di dalam rumah tangga sangatlah besar dan berat karena anggapan pola asuh adalah urusan ibu sedangkan pencari nafkah ranahnya ayah. Anggapan seperti ini menurut Penulis sudah tidak relevan. Mengapa? Perubahan sosial dalam struktur peran orang tua terjadi dari masa ke masa sehingga peran pola asuh sudah tidak relevan jika dilekatkan hanya menjadi tugas ibu. Karena seorang ayah sama pentingnya berperan dalam membentuk karakter dan akhlak anak-anaknya. Menurut Penulis, soal parenting ini bisa menjadi pertimbangan bagi ibu dan ayah untuk bisa menerapkan pola asuh otoritatif. Pola asuh yang menempatkan baik ayah dan ibu berperan dalam merawat dan mengasuh anak dengan mendorong anak untuk mandiri dan mampu menyampaikan pendapatnya. Namun, orang tua tetap menjelaskan dan menegaskan larangan-larangan dan hal-hal yang perlu dihindari. Sehingga pola asuh otoritatif ini menuntut ayah dan ibu senantiasa membuka jalur-jalur komunikasi dengan anak secara terus menerus yang pada akhirnya terbangun hubungan saling percaya yang kuat antara anak dan orang tua. Sayangnya pola asuh seperti ini sulit dilakukan jika hanya ibu yang dibebankan mengasuh anak-anaknya. 

Selain itu, hambatan lain peran perempuan sebagai ibu adalah pilihan yang menempatkan perempuan di posisi tersudutkan, yaitu memilih untuk menjadi ibu rumah tangga atau ibu yang bekerja. Bagi Penulis, dua pilihan ini tidak menggambarkan perempuan sebagai manusia yang memiliki kebebasan dalam hidupnya. Penulis beranggapan, keduanya bukan pilihan melainkan sebuah kompromi di dalam rumah tangga masing-masing yang harus melihat berbagai sisi dan dampak. Artinya ada pertimbangan-pertimbangan yang perlu dikompromikan dan tidak dalam keadaan keterpaksaan karena Penulis percaya bahwa sesuatu yang terpaksa dilakukan tidak akan baik akhirnya. Kompromi ini harus menempatkan pendapat perempuan sebagai ibu terlebih dahulu dengan tetap mendiskusikan hal-hal yang mempengaruhi setelahnya. Langkah ini seringkali menempatkan posisi perempuan menjadi dilema, misalnya harus memilih untuk resign dari pekerjaannya karena anak-anak membutuhkan ibunya, atau dilema karena seorang ibu ingin sepenuhnya dirumah mengurus anak-anaknya namun terpaksa bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga akibat suaminya baru di PHK. Artinya kondisi tiap rumah tangga jelas berbeda. Sehingga terkait dua pilihan yang seringkali menjadi topik perbincangan tersebut, Penulis menilai apapun keputusan yang dibuat, hal yang utama adalah keputusan itu datang dari kita sebagai seorang ibu dan perempuan. Bukan karena keterpaksaan atau karena ancaman dari pihak manapun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun