Pendidikan dasar merupakan pondasi penting dalam membentuk karakter dan kemampuan kognitif peserta didik. Salah satu keterampilan penting yang perlu dikembangkan sejak dini adalah kemampuan berpikir kritis. Dalam konteks pendidikan yang beragam seperti di Indonesia, pendekatan pembelajaran yang memperhatikan keragaman budaya menjadi penting. Pendekatan Culturally Responsive Teaching (CRT) adalah salah satu strategi yang berfokus pada pengintegrasian budaya peserta didik ke dalam proses pembelajaran untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan relevan. Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi bagaimana CRT dapat diterapkan di SD Muhammadiyah Sagan untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis peserta didik.
SD Muhammadiyah Sagan merupakan salah satu sekolah dasar yang terletak di Yogyakarta, dengan peserta didik yang memiliki latar belakang budaya beragam. Keberagaman ini menciptakan tantangan tersendiri dalam proses pembelajaran, terutama ketika pendekatan yang digunakan kurang peka terhadap budaya. Peserta didik sering kali mengalami kesulitan untuk memahami materi yang disampaikan karena kurangnya koneksi antara budaya yang mereka anut dengan konten pembelajaran. Dalam hal ini, pendekatan tradisional yang tidak memperhatikan keragaman budaya seringkali gagal dalam menstimulasi kemampuan berpikir kritis peserta didik.
Keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu aspek penting yang harus dikembangkan sejak dini. Keterampilan ini memungkinkan peserta didik untuk tidak hanya menerima informasi secara pasif, tetapi juga menganalisis, mengevaluasi, dan menyintesis informasi tersebut untuk membuat keputusan yang tepat. Namun, di SD Muhammadiyah Sagan, terdapat indikasi bahwa metode pengajaran yang digunakan belum sepenuhnya mendukung pengembangan keterampilan ini secara optimal.
Untuk mengatasi tantangan ini, pendekatan Culturally Responsive Teaching (CRT) diperkenalkan sebagai inovasi. CRT merupakan metode pengajaran yang berupaya mengaitkan materi pembelajaran dengan latar belakang budaya peserta didik. Melalui CRT, guru dapat menyusun strategi pembelajaran yang relevan dengan kehidupan sehari-hari peserta didik, sehingga memudahkan mereka dalam memahami konsep-konsep abstrak. Misalnya, dalam pelajaran matematika, guru dapat mengaitkan masalah-masalah numerik dengan konteks budaya lokal yang familiar bagi peserta didik, seperti menggunakan cerita-cerita tradisional atau situasi yang mereka alami di rumah.
Selain itu, CRT juga mendorong guru untuk lebih menghargai perspektif peserta didik yang beragam, menciptakan ruang kelas yang inklusif dan kolaboratif. Peserta didik diajak untuk saling berbagi pengalaman mereka, yang pada akhirnya memperkaya proses belajar mengajar. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya belajar dari guru, tetapi juga dari satu sama lain. Hal ini sangat penting dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis, karena mereka diajak untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan membuat penilaian yang lebih mendalam.
Pendekatan Culturally Responsive Teaching (CRT) terbukti efektif dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis peserta didik di SD Muhammadiyah Sagan. Dengan menyelaraskan materi pembelajaran dengan budaya dan pengalaman hidup peserta didik, CRT menciptakan pengalaman belajar yang lebih relevan dan bermakna. Peserta didik tidak hanya mampu memahami materi dengan lebih baik, tetapi juga mengembangkan kemampuan berpikir kritis yang penting untuk kehidupan mereka di masa depan. Oleh karena itu, CRT layak dipertimbangkan sebagai salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat diimplementasikan secara lebih luas di berbagai sekolah, terutama di lingkungan yang memiliki keberagaman budaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H