Pagi itu, langit Jakarta terasa berbeda. Tidak seperti Medan yang selalu hangat dan tenang, udara di sini terasa begitu sesak, penuh dengan suara klakson dan langkah-langkah orang yang tak pernah berhenti. Hari pertama saya merantau ke Jakarta, dan segala sesuatunya terasa baru, bahkan mengejutkan.
Di Medan, saya terbiasa dengan suasana yang lebih santai. Jalanan yang lebih lebar, ruang terbuka yang lebih banyak, dan orang-orang yang dikenal satu sama lain. Tapi di Jakarta, semuanya terasa berbeda---tersembunyi di balik gedung tinggi, jalanan yang sempit, dan hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur. Setiap kali melangkah keluar dari kosan, saya merasa seperti ikan kecil yang baru dibawa ke laut luas. Semua begitu cepat, bising, dan asing.
Di hari pertama, saya mencoba naik angkot. Di Medan, angkot adalah kendaraan yang bisa saya naiki tanpa banyak berpikir, tapi di Jakarta, ternyata ada aturan tak tertulis yang saya belum tahu. Saya bingung dengan sistem halte, kebingungannya, dan cara orang-orang bertransaksi dengan sopir. Saya pun akhirnya memutuskan untuk naik Go-Jek, berharap itu lebih mudah. Tapi, bahkan proses memesan ojek online di Jakarta rasanya lebih ribet dari yang saya bayangkan. Layar handphone saya sering loading, alamat saya bingung dicari, dan driver harus putar-putar karena "macet parah."
Namun, ada satu hal yang benar-benar membuat saya terperangah: kecepatan hidup. Semua orang bergerak begitu cepat, tidak ada yang menunggu. Di Medan, orang masih bisa ngobrol lama-lama di warung kopi, santai di jalan, atau bahkan berhenti hanya untuk bercanda. Tapi di Jakarta? Semua sepertinya punya agenda yang harus selesai dengan cepat. Saya sendiri, yang biasanya suka santai, merasa seperti harus mengejar waktu. Bukan hanya dalam hal pekerjaan, tapi juga dalam hal gaya hidup. Orang-orang di sini terlihat lebih terburu-buru, lebih teratur, dan hampir selalu terhubung dengan dunia maya.
Ada juga perbedaan dalam hal makanan. Di Medan, saya terbiasa dengan makanan yang penuh rasa pedas, gurih, dan kaya bumbu. Tapi di Jakarta, saya merasa seperti menemukan dunia kuliner baru. Ada makanan enak, tapi rasanya terkadang terasa lebih "ringan." Misalnya, nasi uduk Jakarta tidak sepadat nasi uduk Medan yang selalu lengkap dengan lauk-pauk segunung. Saya merasa seperti merindukan rasa pedas sambal matah Medan yang biasa saya nikmati tiap pagi.
Tapi, di balik semua kebingungannya, saya mulai belajar banyak. Saya mulai mengerti kenapa Jakarta bisa jadi begitu menarik. Meski segala sesuatunya terasa cepat dan padat, Jakarta menawarkan peluang yang besar, dan orang-orangnya selalu bersemangat untuk maju. Meski saya masih merasa kecil dan sedikit terasing, saya sadar bahwa saya sedang belajar bertahan dan beradaptasi. Begitu banyak orang yang datang ke Jakarta dengan impian besar, dan saya ingin menjadi bagian dari cerita itu.
Jadi, meski langkah pertama saya di Jakarta penuh kejutan dan kebingungannya, saya yakin, ini hanyalah awal dari perjalanan panjang. Jakarta dengan segala kerumitan dan kehebatannya akan mengajarkan saya banyak hal yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya
Dan saya pun mulai berpikir, mungkin di balik segala kebingungannya, Jakarta adalah tempat saya menemukan versi diri saya yang baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H