Mohon tunggu...
Azizah PutriLathifah
Azizah PutriLathifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/UIN Raden Mas Said Surakarta

saya menyukai hal baru.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Waris Islam di Indonesia, Karya Dr. H.A. Sukris Sarmadi, S.S.Ag. MH

14 Maret 2023   16:09 Diperbarui: 14 Maret 2023   16:13 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perhitungan berdua anak perempuan mendapat bagian 2/3 jika tidak ada anak perempuan berarti masing-masing mereka memperoleh 1/3. Sedangkan anak laki-laki memperoleh bagian sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Mendudukkan anak laki-laki sebagai ashobah bertujuan agar ia selalu memperoleh bagian yang lebih banyak dari pada ahli waris yang lainnya bahkan lebih banyak dari saudaranya sendiri yaitu anak perempuan. Anak laki-laki tidak dapat dihijab oleh siapa pun dari para ahli waris nasabiyah maupun sababiyah. Anak perempuan merupakan ahli waris dari kelompok nasabiyah yang memiliki nilai saham tertentu (furud al-muqaddarah). Anak perempuan dapat memperoleh 1/2 bagian warisan apabila ia tunggal tanpa memiliki saudara sekandung. Anak perempuan memperoleh 2/3 bagian apabila ia berjumlah dua orang atau lebih tanpa adanya anak laki-laki. Dan anak perempuan dapat memperoleh bagian ushubah (menghabisi sisa), baik sendirian atau terbilang ketika ada anak laki-laki yang menjadikannya untuk bersama-sama menghabisi sisa harta. Khusus mengenai perolehan dengan jalan ushubah bersama dengan anak laki-laki dapat dipahami bagian anak lelaki sama dengan dua anak perempuan, perolehan anak perempuan tidak boleh sama atau lebih dari anak laki-laki.

Dalam Pasal 177 KHI menyebutkan "ayah mendapat 1/3 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila terdapat anak, ayah mendapat 1/6 bagian". Sebagai ahli waris ashabul furuddhin Nasabiyah ayah merupakan leluhur langsung dari pewaris. Pasal KHI tidak ada menyebutkan ayah akan memperoleh bagian 'ushubah, sebaliknya tidak ada pula keterangan utnuk menyelesaikan perkara ketika para ahli waris terdiri dari ayah, ibu dan anak perempuan atau ketika ahli waris terdiri dari ayah dan istri atau ketika ada ayah, istri dan anak perempuan atau ketika ada ayah dan suami. Kesemuanya apabila dibagi pasti ada sisa harta. Dalam sistem kewarisan madzhab sunni, ayah akan meperoleh bagian ushubah sehingga harta dapat dihabiskan karena ia akan menghabiskan sisa harta. Penghabisan sisa harta juga dapat dengan cara melakukan radd. Dua cara penafsiran tersebut akan mungkin terjadi dalam menafsirkan Pasal-Pasal KHI mengenai bagian saham ayah. Boleh jadi seperti madzhab Sunni atau dengan cara meraddkanya kepada semua ahli waris yang ada. Dalam fiqh sunni masalah gharawain hasilnya sama dengan KHI, hanya istilah untuk ayah adalah ushubah.

Ibu dapat berkurang dari bagian 1/3 menjadi 1/6 dan 1/3 sisa karena keadaan tertentu. Khusus mengenai bagian 1/3 sisa dalam fiqh, ulama fardhiyun mengistilahkannya dengan masalah ghawarain yang bertujuan agar bagian antara ibu dengan ayah ketika mereka bersama-sama sebagai ahli waris sababiyah yakni suami atau istri lebih banyak. Ibu dapat menghijab hirman terhadap ibunya nenek dan ibunya ayah dan seterusnya dengan dasar hukum ijtihad. Suami (duda) dan istri (janda) merupakan kelompok ahli waris sababiyah dan termasuk kelompok ashab al-furud yang memiliki bagian fard tertentu. Fard suami memperoleh 1/2 bagian apabila tidak meninggalkan anak dan memperoleh 1/4 bagian apabila meninggalkan anak. Fard istri memperoleh 1/4 bagian apabila pewaris tidak meninggalkan anak dan memperoleh 1/8 bagian apabila pewaris meninggalkan anak. Suami dan istri tidak dapat menghijab para ahli waris manapun baik secara hirman maupun nuqsan. Demikian pula ia tidak dapat dihijab oleh siapa pun secara hriman kecuali secara nuqsan.

Berdasarkan Pasal 185 KHI kedudukan para cucu pancar laki-laki dan perempuan dan ahli waris pengganti kedudukan mereka ahli waris pengganti sesuai dengan kedudukan orang tua mereka masing-masing. Para saudara terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan sekandung, seayah atau seibu mereka termasuk kelompok ashabu al-furudh yang memiliki bagian tertentu dan merupakan ahli waris nasabiyah menyamping. Dalam Kompilasi Hukum Islam masalah kakek dan nenek tidak dijelaskan secara rinci menyebutnya sebagai orang yang memiliki peluang menjadi ahli waris.

Dalam penyelesaian perhitungan wris dari saham / fard para ahli waris berupa bilangan pecahan seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 dn 2/3 terkadang saham-saham tersebut apabila di jumlahkan akan melebihi dari harta-harta yang akan dibagi. fiqh menyebutnya dengan masalah aul yaitu adanya kelebihan saham para ahli waris yang berakibat harta yang dibagi tidak mencukupi. Dalam perhitungan bilangan pecahan dapat diketahui cirinya angka pembilang lebih besar dari angka penyebutnya atau melebihi jumlah asal masalahnya. Dalam pasal 192 Kompilasi disebutkan sbb:"Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris Dzwil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari pada angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang dan baru sesudah itu harta warisan dibagi secara aul menurut angka pembilang". Menetapkan cara aul berarti menetapkan apa adanya sesuai dengan saham- saham para ahli waris dimana ketika harta tidak mencukupi maka saham-saham tersebut dikurangi secara imbang agar harta dapat dibagi dan mencukupi. Adapun mengenai radd justru sebaliknya dari aul. Dalam tradisi fiqh mawaris, radd berarti harta yang dibagi masih tersisa. Dengan kata lain, setelah saham-saham ahli waris dijumlahkan ternyata tidak dapat menghabisi seluruh harta yang ada. Ciri masalah radd ini adalah jika nilai saham (pembilang) lebih kecil dari asal masalahnya (penyebut).

Pada Bab IV, penulis hanya menyampaikan dua poin pembahasan yang membahas tentang wasiat dan hibah. Bab ini merupakan bab terakhir dari buku ini. Menjelaskan tentang wasiat dimulai dari pengertian, syarat, batal wasiat dan pencabutannya. Begitu pun dengan pembahasan tentang hibah dimulai dari pengertian, hubungannya dengan warisan dan penarikannya. Pasal 171 huruf (f) menyebutkan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Rukun dan syarat wasiat yaitu adanya pewasiat, adanya orang yang menerima wasiat dengan syarat orang tersebut bukan ahli warisnya, adanya sesuatu yang diwasiatkan, adanya lafadz perwasiatan atau bukti terjadi perwasiatan. Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:

  • Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya pewasiat
  • Dipersalahkan memfitnah
  • Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat
  • Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.

Pasal 197 ayat (2) menegaskan pula bahwa wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:

  • Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat.
  • Mengetahui adanya wasiat tersebut tetapi ia menolak untuk menerimanya.
  • Mengetahui adanya wasiat itu tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggal pewasiat.

Pasal 171 huruf g mendefinisikan hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Hibah merupakan pemberian dan bukan pinjaman seperti orang yang mengizinkan untuk mempergunakan atau memanfaatkan suatu benda tertentu. Dijelaskan rukun hibah yaitu adanya penghibah dengan syarat berumur minimal 21 tahun berakal sehat dan tanpa ada paksaan dari orang lain, adanya penerima hibah dengan syarat ia dapat memilikinya, adanya harta yang dihibahkan dengan syarat harta yang bernilai sehingga memberi kebaikan dan manfaat kepada orang lain serta harta benda yang akan dihibahkan merupakan harta milik si penghibah, adanya lafadz yang menyatakan penghibahannya dengan disaksikan dua orang saksi. Pasal 212 menyatakan hibah tidak bisa ditarik kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Hibah terhadap anak dinggap warisan karena hal tersebut dimaksudkan agar tidak adanya sikap orang tua melebihkan anak kesayangannya dengan anaknya yang lain sehingga terhindar dari munculnya sikap iri hati bagi anaknya yang lain dan tercipta keadilan.

Sekian yang dapat saya riview dari buku tulisan Dr. H.A.Sukris Sarmadi, S.Ag.MH yang berjudul "Hukum Waris Islam Di Indonesia". Untuk lebih dapat memahami isi dari apa yang saya paparkan bisa langsung membaca bukunya, buku "Hukum Waris Islam Di Indonesia" ada yang berbentuk buku fisik yang bisa dibawa kemana-mana dan juga sudah tersedia dalam bentuk buku digital (e-book). Pada buku ini banyak contoh perhitungan waris disertai dengan bagan ilustrasi yang tidak saya cantumkan dalam review ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun