Koalisi Perempuan Indonesia menyambut baik Penyelenggaraan Pertemuan Nasional (Pernas) AIDS ke IV yang diselenggarakan di DI Jogjakarta pada3 – 6 Oktober 2011. Pernas yangdibuka oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono dan dihadiri oleh Menteri Kesehatan Endang Sedyaningsih serta seluruh Kepala Daerah Bupati / Walikota seluruh Indonesia, merupakan upaya konsolidasi dalam jajaran pemerintah, pertanda kesungguhan pemerintah maupun Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) dalam penanggulangan HIV/AIDS.
Selain Konsolidasi dalam jajaran pemerintah,Pernas HIV/AIDS ke IV ini juga memfasilitasi terbangunnya konsolidasi antar masyarakat sipil pelaku penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS, untuk menyelenggarakan pertemuan dalam bentuk forum komunitas, pada 1-2 Oktober 2011. Forum komunitas seperti : forum perempuan, forum gay waria transgender, remaja, buruh migran dan perempuan yang dilacurkan serta pengguna napza, berlangsung efektif dengan melahirkan beberapa rekomendasi sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS di Indonesia.
Upaya memfasilitasimasyarakat sipil menyelenggarakan forum-forum komunitas tersebut merupakan bentuk pengakuan pemerintahdan KPAN bahwa masyarakat sipil sebagai aktor pembangunan memiliki peran penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.
Namun Koalisi Perempuan Indonesia menyayangkan pernyataan oleh Bpk Agung Laksono dalam pembukaan Pernas AIDS, yang masih memandang persoalan epidemik HIV AIDS bersumber dari perilaku seksual yang beresiko, semata. Faktanya, peningkatan jumlah perempuan terpaparHIV AIDS saat ini jusru pada kelompok ibu rumah tangga dan kelompok perempuan buruh migran.Hal ini terjadi karena rendahnya rendahnya akses informasi bagi kedua kelompok tersebut. Perempuan Ibu rumah tangga menjadi kelompok paling rentan terpapar HIV/AIDS, karena ketiadaan pengetahuan, rendahnya posisi tawar dan ketergantungan ekonomi terhadap pasangannya, serta adanya nilai budaya dan tafsir agama yang merintangi seorang isteri mendialogkan persoalan kesehatan reproduksi dan seksual dengan suaminya.
Kondisi perempuan yang terpapar HIV/AIDS semakin terpuruk akibat pelabelan negatif/stereotyping terhadap dirinya sebagai “bukan perempuan baik-baik” di masyarakat. Berbagai bentuk tindak kekerasan dalam rumah tangga juga dialami oleh perempuan terpapar HIV/AIDS dari keluarga dan pasangannya, seperti kekerasan fisik, kekerasan ekonomi, kekerasan seksual maupun kekerasan psikologis. Diskriminasi dan kekerasan juga dilakukan petugas layanan kesehatan dalam bentuk penolakan memberikan layanan atau layanan yang diskriminatif, hingga sterilisasi dan aborsi paksa.
Anak-anak yang terpapar HIV/AIDS mengalami sejumlah tindakan diskriminatif, seperti pengucilan dan pelabelan negatif, hingga penolakan bersekolah disuatu tempat.
Koalisi Perempuan Indonesia memandang positif atas terselenggaranya Pertemuan Nasional HIV/AIDS ke IV ini sebagai ruang untuk melakukan perbaikan atas kondisi buruk yang selama ini dialami olehorang dengan HIV/AIDS , khususnya perempuan dan anak.
Namun Koalisi Perempuan Indonesia sangat menyayangkan atas kurang transparannyapihak Komisi Penanggulangan Aids Nasional (KPAN) dalam menginformasikan program kegiatan dan sumber-sumber pendanaannya. KPAN tidak menginformasikan sejak awal bahwa penyelengaraan Pernas AIDS IV ini akan melibatkan perusahaan industri ekstraktif yang selama ini dikatagorikan sebagai perusak lingkungan, untuk mendukung pendanaan.
Atas dasar kondisi diatas,Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi menyatakan sikap, mendukung rekomendasi yang dihasilkan dalam forum perempuan pernas AIDS ke IV sebagai berikut :
1.Pemerintah harus menjamin dan memperluas cakupan ketersediaan akses layanan yang komprehensif meliputi; obat-obatan, konseling psikologi dan sosial, informasi, petugas kesehatan yang memiliki ketrampilan l dalam merespon penanganan HIV AIDS, kesehatan reproduksi dan seksual yang berperspektif keadilan gender dan HAM
2.Menolak sterilisasi dan aborsi paksa kepada perempuan dengan HIV AIDS, dan mendesak kepada pemerintah untuk menindak tegas petugas kesehatan yang melakukan sterilisasi dan aborsi paksa.
3.Pemerintah segera mengimplementasikan pendidikan inklusif yang mengintegrasikan pendidikan seksualitas dan HIV AIDS ke dalam pendidikan dasar.
4.Mendesak pemerintah untuk segera bersinergi dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat agar berkomitmen kuat untukmengupayakan penanggulangan HIV AIDS yang menghargai pluralisme dan gender.
5.Harmonisasi seluruh kebijakan yang dapat melindungi perempuan khususnya perempuan dan anak dengan HIV AIDS, dengan menindak tegas dan memproses hukum pelaku kekerasan secara transparan dan sejalan dengan konstitusi.
6.Pemerintah menjamin terbentuknya crisis center untuk perempuan dan anak dengan HIV AIDSyang dilengkapi dengan layanan terpadu sampai tingkat PUSKESMAS.
7.Mengamandemen UU Perkawinan, UU PKDRT, KUHP, KUHAP yang memastikan kasus KDRT menjadi delik aduan publik, sehingga masyarakat mempunyai fungsi kontrol terhadap kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.
8.Membuka ruang partisipasi seluas-luasnya bagi perempuan dalam penyusunan kebijakan dan anggaran penanggulangan HIV AIDS, terlepas dari kondisi perempuan dengan HIV AIDS atau tidak.
9.Pemerintah wajib membekali aparat hukum dengan Pendidikan HIV AIDS, gender dan seksualitas secara komprehensif.
10.Menguatkan kelompok-kelompok perempuan dan HIV AIDS untuk bersinergi dengan gerakan sosial lainnya dalam mengupayakan kualitas hidup yang lebih baik bagi perempuan dan keluarganya.
Demikian siaran pers ini kami sampaikan untuk dapat dijadikan masukan yang konstruktif demi kehidupan perempuan dan anak yang sehat dan berkualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H