Kebiasaanku menghabiskan malam seorang diri di dalam kamar kecil ukuran tiga kali tiga meter dengan kondisi lampu terang menyala lalu berkutat bersama tumpukan buku para sarjana hukum yang selalu saja membuatku menganga mengakui kecerdasan mereka tidak lagi menjadi aktivitas terbaik untuk malam ini.Â
Hampir dua bulan setelah aku menyelesaikan studiku dari universitas negeri di ibukota itu, kebiasaanku yang dipandang membosankan oleh mereka malah berakhir menjadi lebih membosankan lagi.
Melaksanakan kewajiban silaturahmi sebagai manusia merupakan satu-satunya agenda terbaik pada liburan hari raya idul fitri tahun ini. Tidak terlepas dari agenda hidup bermasyarakat memang, yang merupakan modus survival bagi manusia. Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum mengatakan artinya hanya dengan hidup bermasyarakat manusia dapat melangsungkan hidupnya. Silaturahmi berlangsung satu hari.Â
Setelahnya aku memilih menghabiskan waktu di dalam kamar yang sedikit lebih besar ukurannya dari tiga kali tiga meter, tetap dengan kondisi lampu terang menyala. Bedanya, aku berselancar di media sosial sebanyak mungkin.Â
Alih-alih teman lama mengundang untuk bertemu dan mengobrol tentang masa lalu atau masa depan. Mungkin pula terinspirasi menulis setelah membaca beberapa blog pribadi orang tidak dikenal. Bisa saja mendapat informasi beasiswa lpdp atau pekerjaan.
Seburuk atau sebaik apapun kebiasaan yang kugeluti, penilaian mereka tidak bisa kujadikan sama seperti inginku. Aku tidak mengatakan liburanku cukup menyedihkan, ketika melihat mereka bersenang-senang memotret pemandangan biru atau hijau yang menyejukkan mata dan hati.Â
Keramaian kota dan kesunyian alam, alunan senar gitar pengamen jalanan dan kopi mahal di sudut cafe antik, gurauan  tertawa terbahak di depan hidangan hangat dan pernak pernik hiasan di gaun. Bahkan aku tidak mengatakan liburanku membosankan, ketika menerima rayuan bersenang-senang dari beberapa nomor di kontak whatsapp yang namanya tertera di layar ponselku.Â
Jika, hanya jika aku berkata jujur bahwa lelahku mengejar waktu sambil berlarian antara pasca sarjana, kembali ke departemen pidana, lalu menuju perpustakaan kemudian mondar mandir di depan ruang pendidikan, kantor tata usaha dan banyak persinggahan lain yang tidak bertitik apabila aku uraikan secara rinci tidak mungkin cukup mendapat simpati mereka. Lagipula apa perlunya simpati? Simpati memberi ruang yang membudakkan diri menjadi cengeng.
Kali saja satu kalimat yang aku ucapkan, "saya butuh istirahat" berhasil menjenuhkan mereka untuk mengusik ketenanganku. Sialnya aku perlu alasan lain. Menata ulang kalimat bahwa tidak ada waktu untuk bersantai, bahwa setiap orang juga punya kesibukan yang bahkan lebih dari yang pernah kurasakan, bahwa setiap orang juga mengalami masa berkabung tidak tidur karena urusan kampus, pergerakan kaki yang harus lebih lihai dan gesit di semester akhir adalah terkaman tertajam yang memanaskan telingaku. Benar saja idealnya seperti itu, tapi tidakkah proses setiap orang ketika mengalaminya berbeda? Pejamkan saja mata, aku tidak mengatur pendapat siapapun.
Senior cantik yang berprofesi sebagai jaksa menghiburku ketika kutanyai apa yang ia kerjakan setelah meraih gelar baru. "Iistirahat, istirahat, istirahat sampai cukup. Saya menghabiskan waktu istirahat selama tiga bulan, setelah merasa cukup saya melanjutkan perjalanan seperti belajar menyelesaiakan soal-soal psikotes atau soal-soal toefl," begitulah ia singkat menjawab.Â
Rasionalnya, tidak mungkin kekasihku mengetahui kapan aku butuh istirahat dan kapan aku merasa cukup istirahat atau kapan aku siap melanjutkan perjalanan. Aku adalah pengendali emosi yang paling berkuasa atas diriku sendiri.